“Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” atau juga disebut “Homo homini
Lupus ” istilah ini pertama kali di kemukakan oleh plautus pada tahun 945,yang
artinya sudah lebih dari 1500 tahun dan kita masih belum tersadar juga. di jaman
sekarang ini sangat sulit Menjadikan Manusia seperti seorang manusia pada
umumnya,sepertinya istilah ini masih tetap berlaku sampai sekarang.
Ungkapan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lain)
dipopulerkan oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf dari Inggris, untuk
menggambarkan situasi masyarakat yang diwarnai oleh persaingan dan peperangan.
Siapa pun bisa menjadi musuh. Manusia yang satu bisa “memakan” dan mengorbankan
manusia lain demi tujuan yang ingin dicapai. “Bellum omnium contra omnes”
(perang semua melawan semua). Kebenaran pendapat Hobbes itu masih dapat kita
jumpai dalam situasi kita saat ini. Kita merasakan bahwa situasi persaingan itu
semakin menguat. Apalagi di era globalisasi yang ditopang oleh sistem pasar
bebas. “Kalau mau tetap eksis, harus berani bersaing dengan yang lain” itulah
jargon yang seringkali dimunculkan. Di antara negara-negara, persaingan itu
sangat kentara. Perusahaanperusahaan trans-nasional bertebaran di mana-mana.
Yang punya modal kuat bisa bertahan dan
bahkan makin mendulang keuntungan. Sementara yang modalnya kecil kandas di
tengah jalan. Situasi persaingan itu tidak hanya terjadi antar institusi.
Persaingan antar individu pun terjadi.
Tidak bisa dipungkiri Hidup di dalam suatu negara sangat di butuhkan sosialisasi
karena kita tidak dapat Hidup dengan sendirinya tanpa ada manusia lain.Apalagi
seperti keadaan sekarang ini kita Hidup di jaman yang serba susah .Demi
mempertahankan hidup itu sendiri kita rela melakukan apa saja Mulai dari yang
halal sampai yang Haram, tentunya semua itu kita lakukan untuk
memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.Untuk mewujudkan itu semua memang
tidak mudah dimana kita harus menghadapi berbagai konflik yang akan memicu
lahirnya sikap saling mangsa Dan disinilah Peran Hati nurani & ego sangat
dibutuhkan.
gambaran manusia di jaman sekarang ini sangatlah mengerikan dari segi sikap dan
perbuatan terkadang lebih keji dari pada hewan yang paling buas
sekalipun,saling sikut,saling berebut saling tikam bahkan saling memangsa
layaknya serigala yang buas siap menerkam mangsanya demi sebuah kepuasan
(ambisi).
sebagai contoh yang terjadi di dalam kehidupan kita seperti tindakan
kekerasan,mulai dari perkelahian ,pembunuhan,pemerkosaan,serta aksi teror
pemboman yang sedang trend di negara kita dan perang dunia yang memungkinkan
akan terjadi lagi. Apakah itu disebut manusia ? Tidak. Kenapa tidak? Karena itu
semua manusia yang melakukanya dan dilakukan terhadap manusia juga ?
entahlah..’
Pengakuan sebagai umat beragamapun yang telah patuh terhadap ajaranya kerap
kali sebagai alasan tindakan kekerasan bahkan sampai menghilangkan nyawa
seseorang. Banyak pelaku kekerasan seperti tersebut menyatakan ini masalah
iman, masalah Tuhan atau masalah kebenaran (kebenaran yang ditafsirkan manusia
itu sendiri).
HOMO homini lupus. Artinya, manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Mungkin
ucapan itu berlebihan. Mungkin juga ada benarnya. Bukankah kadang-kadang kita
berperilaku seperti serigala terhadap orang lain: mengancam, menakut-nakuti,
membentak, menjebak, memperdaya, mendengki dan merebut.
Kalau dipikir, sebenarnya mengerikan jika kita bersifat seperti serigala. Licin
dan licik, kejam dan keji, buas dan beringas. Mengintai, menerkam dan mencakar.
Kita menggigit dan memakan orang lain.
Apa jadinya kehidupan ini jika kita semua berperilaku seperti serigala. Itu
berarti, kita hidup di sebuah kota dengan jutaan serigala: serigala yang
mengemudi mobil, serigala yang duduk di kantor, serigala yang berjalan di mal;
di mana-mana ada serigala.
O, tetapi ada kebalikannya. Homo homini angelus. Artinya, manusia menjadi
malaikat terhadap sesamanya. Dalam hal ini kita malah berupaya ingin menjadi
malaikat. Kita selalu mau sempurna. Kalau perlu kita memakai topeng. Tampak
saleh dan suci, taat dan takwa, bertarak dan bertapa. Orang lain rusak ahlak
berdosa, tetapi kita sempurna beragama. Orang lain duniawi, kita surgawi. Dalam
tiap tutur kata, nama Allah selalu dibawa-bawa. Pokoknya, berbagai upaya
ditempuh supaya kita menjadi malaikat alias setengah Allah.
Nah, manakah yang kita pilih? Menjadi serigala atau menjadi malaikat? Tentu
jangan jadi serigala. Kalau begitu, menjadi malaikat? Juga jangan! Mana bisa
kita menjadi malaikat? Untuk apa pura-pura jadi malaikat?
Kalau begitu kita menjadi apa? Homo homini homo! Artinya, manusia menjadi
manusia terhadap sesamanya! Berkeprimanusiaan, berperasaan, berbudi,
bertenggang rasa, bermartabat luhur, bermurah hati, berjiwa besar, bertanggung
jawab, bermasyarakat, bukan menjadi serigala, bukan pula menjadi malaikat.
Menjadi sesama manusia sajalah.
Pernah Kristus ditanya tentang apa artinya menjadi sesama manusia. Maka
berceritalah Kristus tentang seorang korban perampokan yang terkapar di tepi
jalan. Lewatlah seorang rohaniawan yang cepat-cepat buang muka. Lewatlah lagi
seorang pemuka agama yang juga langsung berlaku.
Kemudian lewatlah seorang berbangsa lain dan beragama lain (bangsa itu dianggap
haram dan agamanya tidak diakui!). Orang ini langsung menolong dan mengangkat
korban ke tempat perawatan. Bertanyalah Kristus kepada hadirin, "Siapakah
di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari
orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" (Luk. 10:36).
Hadirin menjawab, "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan
kepadanya". Bersabdalah Kristus, "Pergilah, dan perbuatlah demikian
" (ay. 37).
Itulah arti menjadi sesama manusia. Menolong orang yang perlu ditolong tanpa
membedakan bangsa dan agama. Sesama manusia kita adalah orang di depan mata
yang memerlukan tempat di dalam hati kita.
Tetapi justru itu yang sulit. Menjadi manusia dan menjadi sesama manusia
bukanlah perkara gampang. Lebih mudah kita terperosok menjadi serigala atau
berpura-pura menjadi malaikat.
Seumur hidup kita masih perlu belajar menjadi manusia. Johann Pestalozzi
(1746-1827) menulis bahwa Pendidikan Agama Kristen (maksudnya juga Pendidikan
Umum) adalah "to concentrate on the humanisation of man, the pure function
of the church is to promote a higher, more noble and more natural life for
men."
Pendidikan adalah proses homonisasi, yakni usaha agar orang berhakikat manusia.
Pendidikan juga merupakan proses humanisasi, yakni usaha agar orang berperilaku
manusiawi.
Jadi, sebetulnya kita tidak perlu berusaha menjadi malaikat atau setengah
Allah. Kalau kita menjadi manusia bagi sesama, itu sudah bagus. Untuk apa kita
coba-coba menjadi malaikat? Allah yang adalah Allah mau menjadi manusia,
masakan kita coba-coba jadi Allah?
Itulah berita Natal. Allah telah menjadi manusia. "firman itu telah
menjadi manusia dan diam di antara kita..." (Yoh 1:14). Pada peristiwa
Natal Allah yang ada di surga turun ke dunia untuk menjelma menjadi seorang
sesama manusia.
Homo homini lupus? Uh, amit-amit! Homo homini angelus? Ah, tak usah! Homo
homini homo? Ya! Manusia menjadi manusia terhadap sesamanya. Inilah luhurnya
makna hidup. Menjadi seorang sesama manusia.
Kristus telah menjadi seorang sesama manusia! Natal adalah homo homini homo:
supaya manusia menjadi manusia terhadap sesamanya.
Sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah
serigala.”
Bagi mereka yang kurang memahami konteks dalam Alkitab, bila membaca nats
diatas maka dianggap bahwa kita lah sang domba dan orang-orang yang tidak
seiman dengan kita adalah ‘serigala’nya. Betulkah demikian? Lebih parahnya lagi
kalau kita menganggap dalam setiap pelayanan pasti ada ‘serigala’nya dan mulai
tunjuk sana sini sambil mengatakan inilah serigala yang dimaksud Yesus. Atau
ekstrimnya tidak berani berbeda pendapat karena takut dicap ‘serigala’ oleh
yang lain. Oh, come on …..Jangan-jangan justru kita lah si serigala bagi
mereka, memangsa teman-teman sendiri dengan segala fitnah dan penghakiman.
Banyak karya misi dan pelayanan Firman putus ditengah jalan karena satu sama
lain saling memangsa dan menerkam.
Bacaan Injil hari ini mengisahkan saat Yesus baru saja mengutus murid-muridNya
pergi berdua-dua, memberikan mereka kuasa lalu meneruskan apa yang telah Ia
lakukan dalam pelayanan-pelayananNya sebelumnya. Para murid sudah pernah ikut
dan melihat apa yang telah dilakukan oleh Yesus. Sekarang saatnya mereka
dilepaskan ke desa-desa disekitarnya tanpa disertai Yesus. Mereka harus
melakukannya sendiri sebagai utusan Tuhan Yesus. Yesus pun tahu bahwa para
murid akan berhadapan dengan berbagai tantangan seperti yang Ia alami.
Yesus yang beritikad baik ternyata juga bisa ditolak dan diusir di beberapa
tempat, bahkan Ia didakwa sesat oleh Ahli Taurat. Maka para murid yang masih
polos dan masih harus perlu dibimbing dan digembalakan ini laksana domba yang
ditinggalkan gembalanya, berhadapan dengan para ahli Taurat dan Farisi yang
seperti serigala. Biasanya kalau serigala datang, gembala turun tangan. Tapi
kali ini sang Gembala mengijinkan ‘domba’nya berhadap-hadapan dengan si
serigala. Bisa dibayangan pertarungannya seperti apa. Gurunya saja diserang
para Ahli Taurat dan Farisi, apalagi murid-murid Yesus yang mereka tahu cuma
nelayan. Tinggal dicaplok lah.
Manusia adalah serigala bagi sesamanya. Homo Homini Lupus (Plautus) demikian
lah manusia bisa menjadi ganas menghadapi manusia lain yang sekiranya mengancam
keselamatan atau kepentingannya. Bukankah itu terjadi di dunia bisnis, juga di
dunia politik? Hhm…di organisasi intelektual dan agamis pun terjadi kok.
Anak-anak pun akan melakukan hal yang sama bila mainannya dipegang oleh anak
lain. Mereka secara natural meradang dan marah karena menyangka harta
‘milik’nya diambil. Reaksi normal manusia bila terancam kan? Maka apa
yang dialami Yesus juga akan dialami para murid, termasuk kita juga yang
menjadi para pengikut Kristus. Bahkan kitapun bisa dianggap aneh dan asing
karena melawan ‘arus’ dan ’sistem’ nilai yang berlaku disekitar kita, menolak
ikut korupsi, menolak ‘jalan pintas’ hanya untuk pengurusan IMB, paspor dan KTP
sekalipun.
Mungkinkah domba bisa selamat bila berhadapan dengan para serigala yang saling
memangsa, tanpa bantuan sang gembala dengan tongkatnya? Lalu apa saran Yesus?
Cuma satu sarannya, fokus pada perutusan dan mengandalkan Sang Pengutus itu
sendiri. Percaya pada penyelenggaraan Ilahi, bukan berarti boleh
bermalas-malasan dan tidak mempersiapkan bekal dan cadangan. Maksudnya
adalah agar dalam menghadapi tugas perutusan kita tidak
mengandalkan ‘atribut’ pakaian diri, jabatan, kekayaan dsb. Fokus pada tugas
perutusan, tidak berbelok ke kiri ke kanan dalam melakukan tugas. Tidak perlu
mampir kiri kanan, seolah transit, istirahat sebentar dari perutusannya untuk
sekedar menyenangkan diri karena setiap saat adalah kesempatan berharga untuk
mewartakan Sabda.
Dalam tugas perutusan kita akan banyak reaksi yang dihadapi, ada yang menerima
pun ada yang menolak. Itu bukan menjadi tanggungjawab kita, karena bagian kita
adalah membagikan dan mewartakan Sabda melalui berbagai karya. Hasil perutusan
itu biarlah rahmat Ilahi yang berkarya. Bisa langsung, bisa juga berhasil
setelah puluhan tahun, biarlah itu menjadi hak Tuhan. Do our best, and let God
do the rest.
Maka dalam perjalanan kehidupan kita, marilah kita fokus untuk jalan beriringan
dengan kawan sekerja Allah, mencapai tujuan pemberitaan Kabar Baik sebanyak
mungkin. Tidak menjadi bagian si serigala yang saling memangsa sesamanya. Tapi
kita lakukan dalam berbagai karya baik sebagai klerus, pelajar, ibu rumah
tangga, kelompok profesional dan pengusaha. Siang malam tetap konsisten, tidak
ada jeda, tanpa istirahat dalam arti tidak menyimpang ke kiri dan ke kanan.
Sampai akhirnya bersma-sama kita tiba di garis peristirahatan akhir dan
berharap sang Gembala menyambut dengan tangan terbuka dan berkata : Marilah
pulang dan beristirahat dalam damai.
“Kemudian dari pada itu Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu
mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak
dikunjungi-Nya. Kata-Nya kepada mereka: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja
sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia
mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu. Pergilah, sesungguhnya Aku
mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala. Janganlah membawa
pundi-pundi atau bekal atau kasut, dan janganlah memberi salam kepada siapa pun
selama dalam perjalanan. Kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih
dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini. Dan jikalau di situ ada orang yang
layak menerima damai sejahtera, maka salammu itu akan tinggal atasnya. Tetapi
jika tidak, salammu itu kembali kepadamu. Tinggallah dalam rumah itu, makan dan
minumlah apa yang diberikan orang kepadamu, sebab seorang pekerja patut
mendapat upahnya. Janganlah berpindah-pindah rumah. Dan jikalau kamu masuk ke
dalam sebuah kota dan kamu diterima di situ, makanlah apa yang dihidangkan
kepadamu, dan sembuhkanlah orang-orang sakit yang ada di situ dan katakanlah
kepada mereka: Kerajaan Allah sudah dekat padamu. Tetapi jikalau kamu masuk ke
dalam sebuah kota dan kamu tidak diterima di situ, pergilah ke jalan-jalan raya
kota itu dan serukanlah: Juga debu kotamu yang melekat pada kaki kami, kami
kebaskan di depanmu; tetapi ketahuilah ini: Kerajaan Allah sudah dekat. Aku
berkata kepadamu: pada hari itu Sodom akan lebih ringan tanggungannya dari pada
kota itu.”
Bahaya Politik
"Homo Homini Lupus"
KETIKA kerakusan, cinta diri menjadi pola kehidupan, dan
penghormatan kepada kebenaran lebih didasarkan pada uang dan kekuasaan, akan
muncul situasi di mana orang lain bukan lagi dianggap saudara, melainkan musuh.
Keadaan ini akan melahirkan apa yang disebut homo homini lupus (manusia merupakan
serigala bagi sesamanya).
Pernyataan Kardinal Julius Darmaatmadja SJ, Ketua Konferensi
Wali Gereja Indonesia (KWI) itu patut dicermati dengan penuh keprihatinan dan
kewaspadaan. Penuh keprihatinan sebab pernyataan itu merupakan tangkapan jernih
seorang tokoh agama atas realitas perpolitikan Tanah Air yang cenderung mulai
diatur oleh "uang" dan "kekuasaan".
MESKI reformasi telah berjalan lima tahun, para elite negeri
selalu "mengumbar janji" berkomitmen segera menciptakan sebuah sistem
politik dan pemerintahan yang demokratis, beradab, berkeadilan sosial, dan
selalu menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Namun, politik uang, penggunaan kekerasan, korupsi, kolusi dan
nepotisme tetap berlangsung. Lihat, "keterlibatan" elite politik
dalam "permainan uang" di sejumlah pemilihan gubernur, bupati, maupun
wali kota. Bahkan, sistem pemerintahan dan birokrasi kita sejak reformasi tahun
1998 hingga kini masih mempertahankan watak korup. Sejalan dengan itu, elite
partai tidak bosan-bosan mempertukarkan "mandat" konstituennya dengan
setumpuk "uang" dan "jabatan".
Fenomena ini diakui Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana
Negara di depan peserta kursus reguler ke-36 dan kursus singkat ke-11 Lembaga
Ketahanan Nasional (Lemhanas), "…politik uang, yang pasti akan disusul korupsi,
kolusi dan nepotisme, merupakan salah satu faktor yang menjerumuskan bangsa
kita ke dalam krisis ekonomi yang bukan main sukarnya untuk diatasi dewasa
ini."
Situasi ini sungguh memprihatinkan sebab politik uang dan
penggunaan kekerasan tidak lagi disadari sebagai abnormalitas, tetapi dihayati
sebagai hal yang "lumrah" terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Penuh kewaspadaan, sebab jika tidak ada partisipasi bersama oleh
seluruh komponen bangsa, situasi ini-menurut Kardinal Darmaatmadja-akan
mengarah pada munculnya paham homo homini lupus.
Akibatnya, kehidupan politik nasional akan lebih banyak diwarnai
tampilnya para politisi yang setiap langkahnya selalu diorientasikan pada
gerakan "politik mencari makan" bukan untuk mewujudkan "kebaikan
bersama" (public good). Dampaknya, Pemilu 2004 nanti pasti akan banyak
dipenuhi permainan politik "kotor" yang menghalalkan segala cara
untuk meraih tujuan (kekuasaan).
Pemilu pada hakikatnya merupakan media terbaik bagi bangsa
Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Karena itu, seluruh mekanisme,
proses dan hasil pemilu harus diselamatkan dari segala praktik politik
"jual-beli" yang bisa mencederai kedaulatan rakyat. Pernyataan
Kardinal Darmaatmadja itu harus dilihat sebagai salah satu usaha preventif (salvation)
agar "kontrak politik" antara rakyat dan para calon pemimpin nasional
dalam pemilu nanti bisa berlangsung fairness, sukses, dan benar-benar mampu
memenuhi harapan seluruh rakyat Indonesia.
MENURUT Nicolaus Driyarkara, tokoh pendidikan filsafat di
Indonesia, eksistensi manusia dalam hubungannya dengan sesama adalah homo
homini socius, manusia adalah kawan atau rekan bagi sesamanya. Karena itu,
keinginan dan usaha untuk menghabisi sesama dalam persaingan berdarah, bahkan
usaha meniadakan sesama dengan menghilangkannya lewat iklim hidup sosial yang
kejam-keji, yaitu homo homini lupus, di mana manusia saling iri, dengki,
mencakar, dan membunuh, harus ditolak. Konsekuensi logis tesis manusia adalah
karib bagi sesamanya, dalam konteks kehidupan politik, adalah ditolaknya
perilaku "rakus" mirip "serigala" dari para politisi yang
tidak segan menggunakan kekerasan dan menumpahkan darah rakyat tidak berdosa
demi kekuasaan politik.
Para politisi dituntut lebih mampu menguasai diri dari naluri
destruktif melalui proses humanisasi (pemanusiaan) apaapa yang membuatnya
ganas, brutal, dan mau berkuasa liar. Nalar "serigala" harus diganti
dengan nalar "manusiawi". Dalam situasi budaya politik masa kini yang
serba pragmatis-materialistis, para politisi harus mampu menampilkan eksistensinya
sebagai manusia (subyek) yang sadar diri, bermartabat, dan tidak bisa digilas
godaan politik uang dan kekuasaan.
Nalar "manusiawi" dalam pola berpolitik, berpartai,
dan bernegara mengejawantah pada terbentuknya komitmen (konsensus) bersama dari
seluruh stakeholder politik dan kekuasaan untuk meletakkan esensi politik
sebagai usaha mewujudkan "kebaikan bersama".
Sebagaimana dikemukakan Aristoteles, politik merupakan asosiasi
warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang
menyangkut kebaikan bersama seluruh masyarakat. Kebaikan bersama (kepentingan
publik) itu, menurut Aristoteles, memiliki nilai moral yang jauh lebih tinggi
daripada kepentingan individual maupun kelompok.
Dengan begitu, seluruh bentuk aktivitas politik sebagai derivasi
homo homini socius masuk dalam lokus kebudayaan. Kebudayaan di sini diartikan
keseluruhan proses pemekaran bakat, energi, dan kemampuan kreatif manusia yang
membuatnya sejahtera dalam hubungan vertikal (transendental) maupun horizontal
(kemanusiaan). Ruang kebudayaan inilah yang akan memberi guidance politisi
menghapus kosakata "musuh politik" diganti "kompetitor
politik", "cinta diri" digantikan dengan "cinta
sesama", sebutan "wong liyan" dengan "saudara",
konsepsi "takhta untuk uang" diganti "takhta untuk rakyat"
dan sebagainya.
Jalan menuju ke arah itu, menurut Driyarkara, hanya bisa
ditempuh melalui dua cara, hominisasi dan humanisasi. Hominisasi dimaknai
sebagai sebuah proses panjang dari kandungan, kelahiran, sampai kematian yang
berlangsung sebagai proses perkembangan fisik biologis kian mematangkan diri
untuk menjadi manusia. Adapun, humanisasi sebagai tindak lanjut proses
hominisasi terkait lekat pembudayaan diri dan lingkungan pematangan diri secara
fisiologis dan kultural dalam memberi arti dan merajut makna secara simulta.
CITA-cita humanisasi politik, secara kultural maupun struktural
berpijak pasti dan tegas pada visi kemanusiaan manusia sebagai rekan bagi
sesamanya. Untuk itu, para politisi harus bersedia melakukan revolusi radikal
dalam cara berpikir politiknya. Tidak ada pilihan lain kecuali meneladani
pikiran-pikiran Driyarkara sebagai bahan pertimbangan utama setiap aktivitas
politiknya.
Karena itu, kekhawatiran Kardinal Darmaatmadja SJ atas
menguatnya paham homo homini lupus dalam pentas politik nasional hanya akan
bisa di hapus melalui kesediaan seluruh pemimpin dan rakyat Indonesia untuk
mewujudkan obsesi Driyarkara, visi manusia sebagai sahabat bagi sesamanya (homo
homini socius) dalam kehidupan perpolitikan Tanah Air. Ini merupakan lawan dari
penindasan manusia atas sesamanya; merupakan antitesis pandangan perlakuan
sesama sebagai saingan, bahkan musuh yang harus dibunuh atau disingkirkan bila
kepentingan bertabrakan.
Namun, problem mendasarnya adalah bagaimanakah caranya agar
politisi kita bersedia meninggalkan paham homo homini lupus? Bersediakah mereka
melakukan proses humanisasi atau pembudayaan untuk kian merajut lingkungan
politik di mana manusia bersesama mencapai kemanusiaan penuh dan harkat utuh?
Pertanyaan ini layak diajukan sebab setelah perdebatan filosofis antara Soepomo
dan M Hatta tentang bentuk (model) negara berakhir, sejak itu pula bangsa
Indonesia hanya disuguhi "debat kusir" politisi yang hanya berorientasi
kursi, uang, dan takhta.
HOMO HOMINI SOCIO
Homo homini socio
“Manusia adalah teman bagi manusia lain”.
Definisi Manusia didalam Homo Homini Socio, Manusia atau orang
dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan,
atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo
sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari golongan
mamalia yang dilengkapi otak
berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep
jiwa yang bervariasi di mana, dalamagama, dimengerti dalam hubungannya dengan
kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali
dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan
berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk
serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan
kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain
serta pertolongan.
Meskipun banyak spesies berprinsip sosial, membentuk kelompok berdasarkan
ikatan / pertalian genetik, perlindungan-diri, atau membagi pengumpulan makanan
dan penyalurannya, manusia dibedakan dengan rupa-rupa dan kemajemukan dari adat
kebiasaan yang mereka bentuk entah untuk kelangsungan hidup individu atau kelompok
dan untuk pengabadian dan perkembangan teknologi, pengetahuan, serta
kepercayaan. Identitas kelompok, penerimaan dan dukungan dapat mendesak
pengaruh kuat pada tingkah laku individu, tetapi manusia juga unik
dalamkemampuannya untuk membentuk dan beradaptasi ke kelompok baru. Sosiologi
adalah ilmu pengetahuan yang menjelaskan interaksi antar manusia.
Di dalam kehidupan
sehari-hari kita pasti membutuhkan orang lain untuk berinteraksi dan
beradaptasi.tanpa orang lain pun kita tak bisa apa-apa.Saling membantu,menolong,menghargai,dan
menghormati sesama manusia yang hidup di dunia ini.
Contohnya Peristiwa Sumanto beberapa tahun yang lalu begitu
mengemparkan, membuat ketidakmengertian mengapa ada manusia yang memakan
manusia lainnya walau sudah berbentuk mayat. Kanibalisme sungguh sangat tidak
bisa ditolelir sama sekali. Bagaimana dengan masa kini ? Kalau kita mau cermati
tentunya kita akan melihat bahwa pemangsaan atau kanibalisme ini telah
mengalami perubahan kondisi. Kanibalisme telah berubah bentuk yang lebih halus,
yaitu perilaku, cara berfikir,
manner, pemahaman, dll.
Kekerasan terjadi dimana-mana. Eksploitasi manusia terhadap
manusia tak dapat dihindarkan. Manusia dalamkehidupan bersama semakin terancam.
Hukum memperkosa keadilan. Kehidupan manusia berada di titik nol kondisi
seperti itulah yang kini dialami manusia dalam kehidupan masyarakat –bahkan
dibeberapa abad silam. Padahal manusia bermasyarakat untuk mencapai tujuan
bersama demi kehidupan yang lebih baik. Bertolak dari persoalan tersebut patut
diajukan pertanyaan Apakah manusia itu? Siapakah manusia itu? Bagaimanakah
kodrat kehidupan manusia? Mengingat persoalan yang dihadapi menyangkut manusia
sebagai subyek (pelaku) dalamkehidupan sosial. Itulah yang direnungkan Drijarka
setengah abad silam. Ia merenungkan gejala-gejala sosial bertolak
pengalaman eksistensi manusia. Gejala-gejala sosial dilihat dari pengalaman
eksistensial manusia sebagai subyek sosial. Gagasan-gagasan tentang manusia
merupakan sentral pemikirannya.
Ia menolak gagasan bahwa kehidupan manusia dituntun oleh nafsu-nafsu.
Inti perenungannya tentang manusia merupakan lawan terhadap tesis homo homini
lupus, yang bergagasan bahwa kehidupan manusia adalah perjuangan terus menerus
untuk memuaskan hasrat. Kehidupan manusia adalah sebuah hasrat abadi untuk
meraih kekuasaan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan. Dan, dengan
rasionya manusia dapat belajar dari pengalaman cara-cara paling efektif untuk
memperoleh kepuasan dan menghindari kekecewaan. Jadi, kehidupan menurut kodrat
manusia adalah sebuah pertempuran.
kepentingan egoisitisnya. Manusia secaara kodrati tidak mencari masyarakat demi
masyarakat itu
sendiri, melainkan mencari keuntungan tertentu darinya. Oleh karena itu
hubungan-hubungan sosial merupakan produk dari kalkulasi dan persetujuan
daripada dorongan. Hubungan-hubungan sosial lebih bersifat eksternal bagi
individu daripada merupakan kesepahaman moral bersama.
Pandangan seperti itulah yang ditolak Drijarkara. Bagi Drijarkara, manusia
bukan pertentangan antara jiwa dan badan. Manusia adalah pribadi dengan dimensi
kejasmanian dan kerohanian, dimana roh mewujudkan refleksi budi dan
kesadarannya dengan melalui badan, kejasmanaian merupakan ungkapan roh yang
menjelma. Aksi (tindakan) manusia tidak bersifat eksternal, melainkan dari
manusia itu sendiri (internal). Manusia sebagai pribadilah yang menentukannya.
Dia berdaulat atas dirinya sendiri. Berdaulat tidak merupakan satu bagian tapi
keseluruhan. Dalam perbuatannya manusia dapat menjadi baik atau sebaliknya.
Dengan kedaulatannya manusia mampu menuju kesempurnaan juga sebaliknya.
Dengan demikian manusia adalah sebuah paradoks. Karena dalamdirinya mengandung
dua prinsip: manusia berupa “apa” (jasmani) dan manusia berupa “siapa”
(rohani). Karena dua prinsip itulah manusia mengandung oposisi-oposisi
dalamdirinya, dia adalah kesatuan dari dua prinsip yang berlawanan.
Oleh karenanya kehidupan manusia adalah perjuangan terus menerus menuju
kesempurnaan
(menuju kemutlakan Tuhan). Suatu perjuangan mengatasi paradoks dalam dirinya.