LISTING

BACAAN

UNTUK KEHIDUPAN YANG HIDUP



Ateisme
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ateisme
Ateisme berari penyangkalan adanya Allah.[2] Namun arti tentang Allah yang disangkal adanya, tidak sama dengan pandagan semua orang, oleh karenanya arti ateisme berbeda-beda juga.[2] Lima model ateisme yang diuraikan Magnis Suseno adalah ateisme dalam diri
-          Ludwig Feuerbach,
-          Karl Marx,
-          Friedrich Nietzsche,
-          Sigmund Freud dan
-          Jean Paul Sartre.[9]
Scientisme merupakan bagian dari Ateisme
Scientisme, sesuai dengan dogma rasionalis, memandang inteligensi manusia sebgai ukuran seluruh inteligibilitas, scientisme membatasi rasionalisme sendiri dalam batas-batas pengetahuan saja, sehingga roh manusia sendiri direduksi sampai dimensi ilmiah saja.[3] Segala sesuatu dipandang sebagai obyek yang dapat diukur, bahkan subyek pada akhirnya nanti dibendakan juga.[3] Maka pada akhirnya scientisme menolak metafisika, sehingga apa yang dipikirkan secara metafisik dibendakan begitu saja, dan ini adalah bentuk ateisme.[3] Problem lebih lanjut adalah scientisme melawan pemikiran agama dan iman.[3] Hal ini terjadi pada masa Galilei yang mengemukakan tentang bumi yang diistilahkan geo-sentris.[3] Hal lain yang kemudian muncul juga pada Charles Darwin dengan teori evolusi yang menyangkal kisah penciptaan manusia dalam naskah Alkitab.[3]
Ludwig Feuerbach
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f6/Feuerbach_Ludwig.jpg/140px-Feuerbach_Ludwig.jpg
Ludwig Feuerbach
Ateisme menurut Feuerbach (1804-1872) adalah memandang Tuhan dalam agama hanya sebagai proyeksi dari kehendak manusia saja.[9] Dia menolak pandangan Hegel yang menyatakan Tuhan mengungkapkan diri dalam kesadaran manusia.[9] Baginya, yang nyata bukan lah Tuhan, yang nyata adalah manusia.[9] Tuhan hanyalah proyeksi manusia yang mendamba sifat-sifat yang tidak dapat dicapainya.[9] Kehendak manusia untuk berkuasa, serba tahu, ada di mana-mana, dan tidak terikat waktu itu kemudian dilemparkannya pada "hal lain" yang adalah Tuhan.[9] Sebab kepastian yang nyata adalah yang dapat di tangkap inderawi, yaitu realitas manusia.[9] Pandangan seperti ini nanti akan masuk dalam filsafat meterialisme.[9] Kebaikan pandangan Feuerbach ini adalah menyatakan hakekat manusia untuk kreatif, berbelas kasih, baik, saling menyelamatkan dsb.[9] Aneh bila manusia menyembah Tuhan yang adalah dirinya sendiri, maka manusia seharusnya menarik agama ke dalam dirinya sendiri supaya ia menjadi kuat, baik, adil dana maha tahu.[9]
Karl Marx
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/d/d4/Karl_Marx_001.jpg/140px-Karl_Marx_001.jpg
Karl Marx terkenal dengan Agama adalah candu masyarakat
Menurut Karl Marx, agama adalah candu masyarakat, karena agama, masyarakat menjadi tidak maju dan bersikap rasional.[9]Agama yang dimaksud Marx adalah agama Kristen Ateisme yang diajarkan Marx adalah ateisme modern.[2]Agama yang mengajarkan Tuhan yang serba bisa hanya menipu dan menyesatkan masyarakat.[9] Marx mengkritik Feuerbach yang hanya menyatakan bahwa Tuhan adalah khayalan, namun tidak mencari sebabnya.[9] Bagi Marx sebab yang diberikan adalah manusia lari kepada Tuhan karena penindasan yang mereka terima dari masyarakat kelas yang dikritiknya.[9] Menurutnya agama hanya menjadi penghalang manusia untuk menyangkal dan memperbaiki hidupnya yang sedang ditindas, seandainya Tuhan dan agama tidak ada, maka manusia bisa hidup bebas dan bermartabat.[9] Di sinilah Tuhan sekiranya dicoret karena tidak diperlukan.[9] Manusia seharusnya menolak kapitalisme yang sedang menindas mereka.[9]
Sigmund Freud
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/0/0e/Sigmund_Freud.jpg/120px-Sigmund_Freud.jpg
Sigmund Freud, mencari Tuhan dari psikoanalis
Filsafat Ketuhanan dalam pandangan Sigmund Freud dengan terori psikoanalisnya dimulai dengan pertanyaan, "Apakah kepercayaan akan Allah dapat dipertanggungjawabkan?"[2] Hal ini berawal dari analisanya tentang perkembangan manusia yang mempercayai agama yang terkadang tidak mencari kebenaran-kebenaran di dalamnya.[2] Manusia yang hanya menerima begitu saja agama-agama yang diajarkan kepadanya.[2] Ide Allah hanyalah ilusi, namun begitu dibutuhkan manusia seperti seorang manusia yang membutuhkan seorang bapak yang melindunginya.[2] Namun Freud mengajukan pertanyaan selanjutnya, "Apakah agama benar-benar baik bagi manusia?"[2] Jawabannya adalah ambigu.[2] Yang ditekankan olehnya adalah seharusnya manusia bertanya akan imannya sehingga dia tidak terjebak dalam bentuk-bentuk infantil dan neurotis.[2] Pendk kata, Freud tidak memperdebatkan realitas Allah, namun lebih mengupas ilusi palsu kesadaran manusia.[2] Karena bertanya, maka sesungguhnya penjelasan yang dikemukakan agama tidaklah memadai, Allah tidak bisa dijelaskan dalam intelektual, sehingga perlu ditolak juga.[2] Terlebih lagi jika dicari manfaatnya, agama hanya sebagai penghambat perkembangan pribadi, maka harus pula ditolak.[2]
Friedrich Nietzsche (1844-1899)
Nietzche yang terkenal dengan Tuhan telah mati, kitalah yang membunuh-Nya
Friedrich Nietzsche sangat terkenal dengan Sabda Zarathustra (1883) bahwa "Tuhan telah mati".[4] Inilah awal mula penolakannya terhadap Tuhan.[4] Penolakannya terhadap Tuhan sebenarnya berasal dari kebenciannya melihat orang Kristen yang tidak menunjukkan kekristenan yang seharusnya menampilkan kasih.[4] Kebenaran bagi dia sangat subyektif, dipikirkan manusia yang sangat super kekuasaannya terhadap dirinya sendiri.[4] Subyektivitas itu juga dalam hal kebenaran agama, apa yang disebut baik bisa saja sebenarnya sangat buruk, apa yang disebut buruk bisa saja sebenarnya sangat baik.[4]Agama Kristen dianggap oleh Nietzsche sebagai bentuk Platonisme baru yang memisahkan antara dunia, kosmologi, materi dan apa yang dapat ditangkap oleh pancaindera.[3] Dari sini keburukan Kristen kata Nietzsche dipandang meremehkan hal-hal duniawi, tampak seperti gnosis yang meremehkan hidup (tubuh, dunia, hawa nafsu) sehingga merupakan hasrat akan kehampaan, kehendak akan dekadensi, sebagai penyakit, kelesuah dan kepayahan hidup.[3] Hal ini ditujukan kepada agama [Kristen]] yang memiliki label baik, sebenarnya sangatlah buruk, yaitu dengan ajaran-ajarannya yang sebenarnya membelenggu manusia untuk berkembang.[4] Bagi dia, manusia adalah ukuran segala sesuatu, bukan Tuhan yang disebut agama Kristen.[4] Manusialah tuhan atas ciptaan ini dan yang mampu mengerjakan apa yang diinginkannya.[4] Maka penolakan akan Tuhan adalah hal yang paling baik, sebab manusia menjadi tidak bergantung pada Allah (Kristen) yang hanya membelenggu manusia itu, katanya.[4]
J. Paul Sartre (1905-1980)
Tuhan di mata Sartre kecil adalah sosok penghukum yang mengawasinya di manapun dia berada, oleh karenanya dia tidak suka kehadiran Tuhan.[10] Tuhan juga tidak hadir ketika dia ingin menemuinya.[10] Oleh karena itu Sartre sudah menolak Tuhan yang tidak nyata semenjak umur 12 tahun.[10] Sartre yang tadi dididik secara Katolik berpindah kepada kesusastraan, yang disebut sebagai agama baru baginya.[10] Namun secara sistematis, dan khas eksistesialis, penolakan atas Tuhan ini dilakukannya karena pemisahan radikal dalam tulisannya Ada dan Ketiadaan terjemahan dari Being and Nothingness.[10] Baginya, di dunia ini tidak ada grand design yang mutlak, manusialah yang bisa mengatur dirinya sendiri dengan eksistensinya.[4] Eksistensi manusia mendahului esensinya; manusia ada dan kemudian menentukan "siapa dirinya".[4] Dia menyangkal Descartes tentang Aku berpikir, maka aku ada, yang benar adalah Aku ada lalu aku berpikir.[4] Dari sinilah dia meneruskannya dalam teori eksistensial fenomenologisnya, bahwa segala sesuatu harus dipisahkan dalam dua bagian; etre en soi / ada dalam dirinya sendiri atau etre-pour soi / ada untuk dirinya sendiri.[10] Segala sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri berarti tidak pasif, tidak aktif, tidak afirmatif juga tidak negatif, ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa dapat dirutunkan dari sesuatu lain, tidak berkembang.[10] Sedangkan ada untuk dirinya sendiri adalah sebuah kesadaran], dan ini khas manusia.[10] Dari pemisahan inilah, dia melabel Tuhan orang Kristen yang tidak berubah itu masuk dalam golongan ada dalam dirinya sendiri, maka dari itu dia tidak lebih besar dari manusia yang memiliki kesadaran untuk memilih esensinya sendiri.[10] Di sinilah penyangkalan Tuhan itu terjadi, dia tidak mengakui Tuhan lebih tinggi dari manusia, maka Tuhan tidak diperlukan lagi.[10] Karena Tuhan tidak lagi ada, maka manusia menjadi bebas dan bisa menentukan kondisi bangsanya.[10] Di sinilah nilai positif Sartre yang kemudian menghabiskan seluruh kegiatan hidupnya untuk kebaikan manusia (gerakan sosial).[10] Bahkan dia pernah memenangi nobel perdamaian karena pengabdiannya terhadap kemanusiaan, namun ditolaknya.[10][4]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar