LISTING

Senin, 20 Juni 2016

KEBIJAKAN PEMBIAYAAN PERUMAHAN BUTUH KEPASTIAN
KEBIJAKAN PEMBIAYAAN PERUMAHAN BUTUH KEPASTIAN
Operasionalisasi program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang disalurkan Kementerian Perumahan Rakyat setelah beberapa tahun ternyata belum mengalami kemajuan signifikan. Mirisnya, tahun lalu, realisasi target penyaluran KPR FLPP itu jauh panggang dari api.
Tercatat, dari target pembiayaan sebanyak 133.000 unit rumah sederhana tapak bersubsidi, yang terealisasi hanya sebanyak 73.923 unit rumah. Padahal dana yang sudah dilokasikan untuk itu adalah sebesar Rp 7,103 triliun. Tetapi serapan hanya Rp 3,03 triliun. Sementara itu, pembiayaan rumah susun sederhana milik bersubsidi dari 500 unit yang ditargetkan, hanya terealisasi sebanyak 5 unit!!!
Pada diskusi bersama Forum Wartawan Perumahan Rakyat beberapa waktu lalu, pejabat kemenpera, mengeluhkan kendala program KPR FLPP. Mulai dari besaran uang muka yang dianggap masih terlalu besar, biaya produksi yang naik, pasokan yang tersedat, ditambah ogahnya belasan bank pelaksana yang sudah ditunjuk untuk serius menyalurkan KPR FLPP. Walhasil porsi BTN tetap dominan, 99%. Sisanya hanya sebagai pemanis.
Inkonsistensi kebijakan
Saya menilai sebetulnya semua persoalan yang dikeluhkan di atas adalah persoalan klasik, yang seharusnya tak terlalu perlu dirisaukan. Justru persoalan utama adalah inkonsistensi Menpera Djan Faridz sendiri diawal-awal “pemerintahan” dalam melanjutkan kebijakan operasional KPR FLPP.
Berdasarkan catatan REALESTAT Indonesia, inkonsistensi Menpera Djan Faridz sangat nyata terlihat dari revisi kebijakan yang terkesan coba-coba sehingga membuat target penyaluran KPR bersubsidi berkali-kali mengalami revisi.
Revisi pertama dilakukan Menpera pada pertengahan Februari 2012, setelah sebelumnya kredit program ini “diputus” selama beberapa bulan. Djan merevisi target penyaluran pembiayaan KPR FLPP dari 177.800 unit menjadi 219.000 unit rumah.
Malah, April 2012, Djan Faridz kembali merevisi target penyaluran menjadi 600.000 unit rumah. Komposisinya; pembiayaan untuk 200.000 unit rumah PNS, dan 400.000 unit rumah untuk karyawan swasta dan sektor informal.
Revisi ketiga dilakukan Menpera pada pertengahan 2012, dengan target 240.000 unit. Dua bulan kemudian revisi target rumah subsidi terjadi lagi menjadi 189.000 unit rumah. Dan terakhir (hanya) 133.000 unit rumah bersubsidi.
Regulasi Kemenpera yang berubah-ubah juga terlihat ketika Djan Faridz memangkas besaran bunga KPR FLPP dari 8,15 persen menjadi 7,25 persen dan (kembali) mematok harga jual rumah bersubsidi maksimal Rp 70 juta untuk tipe minimal 36 m2 dan menetapkan uang muka 10 persen dari harga jual rumah.
Ketentuan itu jelas membuat para pengembang protes. Akibatnya, pembangunan rumah subisidi tersendat. REI bahkan membuat “tandingan” KPR FLPP dengan meluncurkan program KPR Grya Idaman bersama BNI. Demikian juga perbankan, karena porsi penyertaan dana mereka berubah, ikut-ikutan menciutkan targetnya. BTN, bank utama penyalur KPR FLPP waktu itu hanya berani membiayai sebanyak 18 ribu unit RST saja. Data Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Perumahan (BLU PPP), penyaluran rumah subsidi pertengahan 2012 baru terealisasi 12.000 unit dari target sebanyak 240.000 unit rumah.
Minimnya penyaluran, membuat menpera, mengeluarkan beberapa kebijakan baru dan kembali merevisi porsi penempatan dana perbankan untuk KPR FLPP serta melakukan revisi melalui zonasi patokan harga jual rumah bersubsidi mulai Rp 88 juta-Rp 145 juta/unit. Wujudnya lahirlah Permenpera No 7 dan 8 tahun 2012, pengganti Permenpera No 4 dan 5 tahun 2012 dan kemudian muncul lagi Permenpera No 13 dan 14 tentang Pengadaan Perumahan melalui Kredit Pemilikan Rumah Sejahtera dengan Dukungan FLPP.
November 2012, Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian memutuskan membatalkan ketentuan Pasal 22 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang mengatur luas lantai rumah minimal 36 meter persegi. Akibatnya, kemenpera lagi-lagi harus mengubah peraturan yang telah dibuat sebelumnya dengan Permenpera yang baru.
Lantas bagaimana dengan tahun ini? Kegagalan mencapai target pada tahun lalu harus dievaluasi serius oleh kemenpera. Jangan ada lagi perubahan kebijakan, karena hal itu akan membuat adanya ketidakpastian.
Menpera harus menegaskan kredit program FLPP akan jalan terus, berapapun pasokan yang bisa dibangun pengembang. Tidak lagi "on" dan "off" atau kebijakan yang berubah-ubah secara tiba-tiba di tengah jalan. Kebijakan butuh konsistensi supaya ada kepercayaan dari para pemangku kepentingan. Ingat!, tahun 2013 saja "utang" Kemenpera, sesuai RPJM adalah sebesar 350.000 unit rumah.
Penulis: Erfendi Eka Putra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar