KONVERSI HAK ATAS TANAH DARI HUKUM ADAT DAN HUKUM
BARAT DITINJAU DARI UNIFIKASI HAK ATAS TANAH DALAM UUPA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Indonesia merupakan Negara yang memiliki wilayah
daratan yang cukup luas meskipun secara keseluruhan sebagian besar wilayah
Indonesia ialah lautan. Berdasarkan data yang kami peroleh dari wikipedia luas
daratan Indonesia adalah 1.922.570 km² dan luas perairannya 3.257.483
km²[1][1]. Namun tidak dapat dipungkiri dengan jumlah sebesar itu merupakan
salah satu negara dengan wilayah daratan terluas di dunia.
Indonesia juga merupakan Negara yang memiliki historis
panjang, dimana Negara ini mengalami masa kolonialisme yang sangat lama,
dimulai dari Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang sampai akhirnya
memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945.
Pada masa kolonial, Indonesia sangat didominasi oleh
Belanda dari berbagai aspek, salah satunya yaitu di bidang Hukum,
misalnya Hukum tentang pertanahan atau agraria. Pada masa kolonial Belanda
peraturan-peraturan yang ada ialah peraturan yang dibentuk oleh Pemerintah pada
zaman kolonial tersebut. Peraturan-peraturan tersebut tidaklah sesuai dengan
nilai-nilai asli yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Norma tersebut hanyalah
menguntungkan bagi penguasa saat itu saja. Namun harus tetap diakui hukum adat
pada saat itu juga tetap ada sebagai nilai-nilai orisinil yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia, meskipun keberlakuannya sangatlah terbatas.
Sejak awal kemerdekaan hingga tahun 1960 hukum pertanahan
Indonesia menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mana dasarnya
ialah berasal dari Hukum Barat. Sampai pada tahun 1960 dibentuk Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang
nilai-nilai dasarnya berasal dari bangsa Indonesia itu sendiri.
Hukum agraria mempunyai fungsi yang sangat penting
untuk membangun masyarakat adil daan makmur, seperti yang dinyatakan dalam
penjelasan umum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa di dalam Negara
Republik Indonesia yang susuan kehidupannya, termasuk perekonomiannya, bercorak
agraris bumi, air, dan ruang angkasa , sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
mempunyai fungsi yang sangat penting untuk membnagun masyarakat yang adil dan
makmur. Sehingga dibentuknya UUPA untuk terciptanya kepastian hukum guna
mewujudkan cita-cita tersebut[2][2].
Pada makalah ini kami akan mengkhususkan untuk
membahas mengenai Konversi hak atas tanah dalam UUPA yang sebelumnya ialah
berasal dari hukum adat dan hukum barat lalu diunifikasi berdasarkan UUPA.
Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Undang-Undang Pokok Agraria, maka banyak perubahan yang terjadi dalam
ketentuan hak-hak atas tanah. Salah satunya adalah diadakan konversi hak atas
tanah oleh pemerintah. Adapun yang dimaksud dengan konversi adalah penyesuaian
Hak-Hak atas tanah yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu Hak-Hak
tanah menurut kitab undang-undang Hukum Perdata Barat dan tanah-tanah yang
tunduk kepada Hukum Adat untuk masuk dalam sistem hak-hak tanah menurut
ketentuan UUPA.
Yang menjadi pokok dilaksanakannya konversi dalam
Hukum Agraria Nasional, adalah dimana hak-hak atas tanah yang dikenal sebelum
berlakunya UUPA tidak sesuai dengan jiwa falsafah Negara Pancasila dan UUD 1945
. Hukum Agraria kolonial bersifat dualistis, dimana disamping berlakunya
peraturan yang berasal dari Hukum Agraria Adat berlaku pula Hukum Agraria yang
berdasarkan Hukum perdata barat, dengan demikian terdapat tanah-tanah dengan
hak-hak Barat dan tanah-tanah hak adat Indonesia.
Hak-Hak atas tanah yang dikonversikan itu bukan saja
hak-hak atas tanah yang bersumber pada hukum perdata barat saja tetapi juga
hak-hak atas tanah yang dikenal dalam hukum adat seperti ganggam bauntuak,
bengkok, gogolan dan sebagainya. Hak-hak ini dikonversikan, karena tidak sesuai
dengan jiwa Hukum Agraria Nasional, yaitu karena sifatnya yang
feodalis[3][3].
Masih banyaknya masyarakat yang belum paham tentang
konversi hak atas tanah ini menimbulkan berbagai permaslahan-permasalahan
ditengah-tengah masyarakat. Misalnya bagaimanakah cara mengkonversikan hak-hak
atas tanah tersebut. Berdasarkan hal inilah, maka kami tertarik membahas
makalah tentang "Konversi hak atas tanah dari hukum adat dan hukum barat
ditinjau dari unifikasi hak atas tanah dalam UUPA".
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pelaksanaan konversi hak atas tanah yang
terjadi di Indonesia ?
2. Bagaimana dampak konversi dalam UUPA terhadap hak
kepemilikan tanah masyarakat adat di Bali ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan Konversi Hak Atas Tanah di Indonesia
Penerbitan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Undang-Undang Pokok Agraria memberikan banyak perubahan yang terjadi dalam
ketentuan hak-hak atas tanah. Salah satunya adalah diadakan konversi hak atas
tanah oleh pemerintahKonversi hak atas tanah adalah penyesuaian hak-hak tanah
yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu hak-hak tanah menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Barat dan Tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat
untuk masuk dalam sistem hak-hak tanah menurut ketentuan UUPA[4][4]. Sebelum
adanya konversi hak-hak atas tanah dan berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia
Belanda (Indonesia) terdiri atas 5 perangkat hukum, yaitu :
1.
Hukum Agraria Adat
Yaitu
keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada hukum adat dan
berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang dianut
oleh hukum adat, yang selanjutnya sering disebut tanah adat atas tanah
Indonesia.
2.
Hukum Agraria Barat
Yaitu
keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Perdata
Barat, khususnya yang bersumber pada Boegerlinjk Wetboek (BW). Hukum Agraria
ini terdapat dalam BW (bersifat ekstern), yang memberikan pengaturan bagi
sebagian kecil tanah tetapi bernilai tinggi. Hukum agraria ini diberlakukan
atas dasar Konkordansi. Misalnya tanah Hak Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpacht.
3.
Hukum agraria Administrasif
Yaitu
keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang merupakan
pelaksanaan dari politik agraria pemerintah di dalam kedudukannya sebagai badan
penguasa. Sumber pokok dari Hukum Agraria ini adalah Agrarische Wet Stb. 1870
No. 55, yang dilaksanakan dengan Agrarische Besluit Stb. 1870 No. 118, yang
memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan politik
pertanahan/agrarianya.
4.
Hukum Agraria Swapraja
Yaitu
keseluruhan dari kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada peraturan-peraturan
tentang tanah di daerah-daerah swapraja (Yogyakarta, Aceh), yang memberikan
pengaturan bagi tanah-tanah di wilayah daerah-daerah swapraja yang
bersangkutan.
5.
Hukum Agraria Antar Golongan
Hukum yang
digunakan untuk menyelesaikan sengketa (kasus) agraria (tanah), maka timbullah
Hukum Agraria Antar Golongan, yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang
menentukan hukum manakah yang berlaku (Hukum adat ataukah Hukum Barat apabila
dua orang yang masing-masing tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri bersengketa
mengenai tanah. Hukum agraria ini memberikan pengaturan atau pedoman dalam
menyelesaikan masalah-masalah Hukum antar golongan yang mengenai tanah.
Kelima perangkat Hukum Agararia tersebut, setelah
Negara Indonesia merdeka, atas dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
dinyatakan masih berlaku selama belum diadakan yang baru.[5][5] Setelah
kemerdekaan Indonesia, dilakukan unifikasi untuk pembentukan undang-undang
mengenai hak-hak atas tanah dengan konversi atau peralihan.
Salah satu tujuan diberlakukannya UUPA adalah untuk
melakukan penyatuan dan penyederhanaan hukum agraria nasional. Untuk mewujudkan
penyatuan dan penyederhanaan tersebut, dilakukan konversi hak atas tanah. Yang
dimaksud dengan konversi hak atas tanah adalah perubahan hak atas tanah yang
lama menjadi hak atas tanah yang sesuai dengan ketentuan UUPA.[6][6]
Untuk mengetahui sikap dan filosofi dari koversi
konversi ini maka terdapat 5 prinsip yang mendasari konversi hak atas tanah
yakni sebagai berikut :
1. Prinsip Nasionalitas
Prinsip ini
dapat dibaca / ditemui dalam pasal 9, 21, 30 dan 36 UUPA. Menurut pasal 9 bahwa
warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi air
dan ruang angkasa, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, mereka
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh hak-hak atas tanah. Dari ketentuan
pasal 21 UUPA dapat diketahui bahwa betapa konsekwennya Indonesia terhadap
prinsip Nasionalitas, maka hak milik sebagai hak terpenuh dan terkuat hanya di
peruntukan bagi warga negara Indonesia, orang asing tidak diperkenankan
mempunyai tanah walau pun karena pewarisan.
2. Prinsip pengakuan hak-hak tanah terdahulu .
Berlakunya UUPA
terjadilah unifikasi hukum di bidang pertanahan. namun bukan berarti hak-hak
atas tanah yang tunduk pada hukum yang lama, yakni hukum perdata barat dan
hukum adat menjadi hilang begitu saja, terhadap tanah, yang tunduk pada sistem
hukum lama masih diakui keberadaanya. Untuk kemudian melalui lembaga konversi
disesuaikan kedalam salah satu hak atas tanah menurut sistem UUPA. Hal demikian
memperlihatkan kepribadian dari bangsa Indonesia yang berkeprimanusiaan dalam
melaksanakan ketentuan konversi ini. Berlainan dengan negara-negara penjajah
maupun negara-negara komunis yang mengambil alih daerah pada umumnya.
3.
Prinsip kepentingan hukum
Dengan adanya
ketentuan konversi maka ada kepastian hukum mengenai status hak-hak atas tanah
yang tunduk pada sistem hukum yang lama. Apakah hak tersebut akan dihapuskan
atau disesuaikan kedalam hak-hak menurut sistem UUPA dan kepastian berakhirnya
masa-masa konversi hak-hak atas tanah bekas tunduk pada KUH Perdata
dinyatakan telah berakhir pada tanggal 24 September 1960.
4.
Penyesuaian kepada kepentingan konversi
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa ketentuan konversi Indonesia mengakui hak-hak atas
tanah, yang lama yang pernah ada sebelum berlaku UUPA, maka terhadap
hak-hak yang lama tersebut melalui Lembaga konversi disesuaikan atau dipadankan
dengan hak-hak atas tanah menurut UUPA. Dalam hal ini tidak terlepas dari
prinsip terdahulu yakni prinsip nasionalitas, masalah kewarganegaraan sangat
menentukan dalam penyesuaian atau pemadanan tersebut.
5.
Status quo hak-hak tanah terdahulu
Setelah berlaku
nya UUPA maka tidak mungkin lagi di terbitkan hak-hak baru atas tanah yang
tunduk pada hukum barat maupun adat. Dengan demikian setiap ada perbuatan suatu
hak baru atas tanah yang tunduk atau yang akan ditundukkan pada sistim hukum
yang lama adalah batal dan tidak berkekuatan hukum.
Dasar hukum konversi hak atas tanah terdapat di bagian
Kedua UUPA tentang Ketentuan-Ketentuan Konversi, yaitu pasal I hingga Pasal
VIII. Secara garis besar, konversi hak atas tanah terbagi menjadi tiga jenis,
yaitu:
1.
Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak
barat
2.
Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas
hak Indonesia
3.
Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas
swapraja
Berbagai jenis hak atas tanah tersebut kemudian
dikonversi menjadi hak atas tanah yang baru, yaitu hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan dan hak pakai. berikut ini penjelasan dari ketiga jenis
konversi tersebut.
1.1
Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak
barat
Hak atas tanah
yang berasal dari tanah hak barat terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
1.
Hak eigendom, adalah hak untuk membuat suatu barang
secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya,
asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang
ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang
lain. Hak eigendom merupakan hak yang paling sempurna. Hak eigendom dapat dikonversi menjadi hak
milik, hak guna bangunan atau hak pakai. Namun
apabila terhadap hak eigendom tersebut dibebani hak opstal atau hak erfpacht,
maka konversinya harus atas kesepakatan antara pemegang hak eigendom dengan
pemengang hak opstal atau hak erfpacht.
2.
Hak opstal, adalah hak kebendaan untuk memiliki
bangunan dan tanaman-tanaman di atas sebidang tanah orang lain (Pasal 711 KUH
Perdata). Hak opstal dapat dikonversi menjadi hak guna bangunan.
3.
Hak erfpacht, adalah hak untuk memetik kenikmatan
seluas-luasnya dari tanah milik orang lain dan mengusahakannya untuk waktu yang
sangat lama (Pasal 820 KUH Perdata). Hak erfpacht terbagi menjadi tiga jenis,
yaitu:
o
Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, dapat
dikonversi menjadi hak guna usaha.
o
Hak erfpacht untuk perumahan, dapat dikonversi menjadi
hak guna bangunan.
o
Hak erfpacht untuk pertanian kecil, tidak dikonversi
dan dihapus.
4.
Hak gebruik (recht van gebruik), adalah hak kebendaan
atas benda orang lain bagi seseorang tertentu untuk mengambil benda sendiri dan
memakai apabila ada hasilnya, sekedar buat keperluannya sendiri beserta
keluarganya. Hak gebruik dikonversi menjadi hak pakai.
5.
Bruikleen, adalah suatu perjanjian dimana pihak yang
satu menyerahkan benda dengan cuma-cuma kepada pihak lain untuk dipakainya
dengan disertai kewajiban untuk mengembalikan benda tersebut pada waktu yang
ditentukan. Bruikleen dikonversi menjadi hak pakai.
1.2
Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia
Hak atas tanah
yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Hak erfpacht yang altijddurend, adalah hak erfpacht
yang diberikan sebagai pengganti hak usaha di atas bekas tanah partikulir
menurut S. 1913 – 702. Hak ini dapat dikonversi menjadi hak milik, hak guna
usaha atau hak guna bangunan, tergantung pada subyek hak dan peruntukannya.
2. Hak agrarische eigendom, adalah hak buatan semasa
pemerintahan kolonial Belanda yang memberikan kaum bumiputera
suatu hak baru yang kuat atas sebidang tanah. Hak agrarische eigendom juga
dapat dikonversi menjadi hak milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan,
sesuai dengan subyek hak dan peruntukannya.
3. Hak gogolan, adalah hak seorang gogol (kuli) atas
komunal desa. Hak gogolan juga sering disebut hak sanggao atau hak pekulen. Hak
gogolan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
- o Hak gogolan yang bersifat tetap, apabila si gogol secara terus-menerus mempunyai tanah yang sama dan tanah tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya.
- o Hak gogolan yang bersifat tidak tetap, apabila gogol tersebut tidak secara terus-menerus memegang tanah gogolan yang sama dan apabila ia meninggal dunia, tanah gogolan kembali pada desa.
Terhadap tanah gogolan yang bersifat tetap dapat dikonversi menjadi hak
milik. Sedangkan terhadap tanah gogolan yang bersfat tidak tetap dapat
dikonversi menjadi hak pakai.
1.3
Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas swapraja
Daerah swapraja adalah daerah raja-raja semasa pemerintahan kolonial
Belanda. Terdapat beberapa jenis hak swapraja atas tanah:
1. Hak hanggaduh, adalah hak untuk memakai tanah
kepunyaan raja. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, semua tanah adalah kepunyaan
raja. sedangkan rakyat hanya menggaduh saja. Hak hanggaduh dapat dikonversi
menjadi hak pakai.
2. Hak grant, adalah hak atas tanah atas pemberian hak
raja kepada bangsa asing. Hak grant juga disebut geran datuk, geran sultan atau
geran raja. Hak grant terdiri dari tiga macam, yaitu:
o Grant sultan, adalah hak milik untuk mengusahakan
tanah yang diberikan oleh sultan kepada para kaula swapraja. Hak ini dapat dikonversi menjadi hak milik, hak guna
usaha atau hak guna bangunan, sesuai dengan subyek hak dan peruntukannya.
o Grant controleur, diberikan oleh sultan kepada bukan
kaula swapraja. Hak ini dikonversi menjadi hak
pakai
o Grant deli maatschappy, diberikan oleh sultan kepada
deli maatschappy yang berwenang untuk memberikan bagian-bagian tanah kepada
pihak lain. Terhadap konversi hak grant deli maatschappy, tidak terdapat
ketentuan yang mengaturnya. Namun menurut Boediharsono, hak ini dapat
dikonversi menjadi hak pakai karena sifatnya sama dengan hak grant controleur.
3.
Hak konsesi dan sewa untuk perusahaan kebun besar. Hak
konsesi untuk perusahaan kebun besar adalah hak-hak untuk mengusahakan tanah
swapraja yang diberikan oleh kepala swapraja. Sedangkan hak sewa untuk
perusahaan kebun besar adalah hak sewa atas tanah negara, termasuk tanah bekas
swapraja untuk dipergunakan sebagai perkebunan yang luasnya 25 Ha atau lebih.
Hak-hak ini dapat dikonversi menjadi hak guna usaha.
B.
Dampak konversi dalam UUPA terhadap hak kepemilikan
tanah masyarakat adat di Bali.
Falsafah yang mendasari hukum adat mengenai tanah
adalah konseptual komunalistik religius, karena dalam konsep hukum adat
kehidupan individu dipandang sebagai kehidupan yang terutama untuk mengabdi
kepada kehidupan masyarakat. Tanah adat sebagai hak kepunyaan bersama dari
suatu masyarakat hukum adat dipandang sebagai tanah bersama yang merupakan
“pemberian atau anugerah dari suatu kekuatan gaib, sehingga semua hak
perorangan bersumber dari tanah bersama tersebut. Berangkat dari kasus di Bali
IB.Lasem anggota LSM di Bali menyebutkan, bahwa tanah-tanah adat seperti
Pekarangan Desa (PKD), Ayahan Desa (AYDS) yang dikuasai secara individu di
dalamnya terkandung konsep Tri Hita Karana, yaitu berupa Parhyangan yang
berwujud Merajan (believe system), Pelemahan yang berwujud wilayah perumahan
(artefact system), dan Pawongan yang berwujud anggota keluarga yang tinggal di
situ (social system) yang notabene sebagai krama banjar dan krama desa adat.
Semuanya ini sudah barang tentu diatur dalam awig-awig (hukum tidak tertulis
masyarakat adat Bali). Jadi penguasaan tanah adat ini secara ekonomis tidak
hanya dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan secara pribadi pemegangnya,
tapi juga diabdikan untuk kepentingan bersama dalam bentuk pelaksanaan
kewajiban berupa ayahan(pengelolaan tanah adat) yang mempunyai dimensi sosial
dan religius (Desa adat dengan Parhyangan, seperti pura Kahyangan Tiga). Dengan
demikian implementasi konsep komunal religius akan sangat nyata dapat
disaksikan terhadap status tanah adat yang dikuasai oleh individu sebagai krama
(anggota) desa adat. Begitu pula tanah-tanah adat sebagai tanah ulayat di Bali
merupakan tanah bersama yang dikuasai dan dimiliki oleh desa adat secara
komunal. Sebagian tanah komunal ini penguasaannya diserahkan (di-derivatif)
kepada krama (anggota) desa adat secara individual yang disebut sebagai hak
milik tidak penuh seperti PKD, AYDS.
Menurut Grotius, bahwa milik pribadi dikonsepsikan
mempunyai hak untuk memiliki dan menggunakan secara pribadi. Jadi ada milik
bersama tetapi dapat digunakan untuk kepentingan pribadi.[7][7] Beberapa
ketentuan tentang pemilikan tanah secara individu menurut hukum adat antara
lain:
1.
Pemilikan tanah hanya dapat dipunyai oleh warga
masyarakat hukum adat saja (krama/anggota desa adat).
2.
Pemilikan tidak lahir berdasarkan keputusan atau izin
kepala adat. Keputusan atau izin kepala adat hanya berfungsi sebagai pembuka
jalan ke arah kemungkinan menguasai tanah dengan hak milik. Pemilikan lahir
berdasarkan pengakuan masyarakat yang disebabkan oleh kenyataan erat ada
tidaknya hubungan seseorang atas tanah. Erat dalam arti tanah senantiasa
dikerjakan, dirawat dengan baik dan tidak diabaikan.
3.
Pemilikan hanya timbul apabila syarat de facto
berupa tempat tinggal dalam masyarakat hukum, mengerjakan tanah secara terus
menerus, dan syarat de jure berupa pengakuan masyarakat akan pemilikan
tersebut, berlaku secara bersamaan dalam diri pribadi yang bersangkutan.
4.
Berakhirnya hak milik atas tanah, berarti berhentinya
pengakuan masyarakat atas hak orang yang bersangkutan terhadap kepemilikan
tanah.
Dua unsur utama yang memberikan ciri khas kepemilikan
hak tanah adat yakni tidak adanya kekuasaan untuk memindahkan tanah dan
terdapat interaksi antara hak komunal dan hak individu yang mempunyai akibat
atau berlaku ke dalam maupun berlaku ke luar.
Di Bali hak penguasaan tanah juga dilandasi oleh hak
ulayat atau hak prabumian. Kondisi ini akan sangat relevan jika dikaitkan
antara hubungan terjadinya desa adat dan tanah adat dalam perspektif
sejarahnya. Di samping itu relevan juga dengan teori hukum alam dan accupatio
dalam arti adanya penguasaan dan pemilikan bersama (komunal) dan juga
penguasaan dan pemilikan secara individual (perseorangan). Hubungan antara hak
komunal dengan hak individual juga nampak saling mendesak, menebal dan menipis.
Bahkan lebih didominasi oleh hak individual, terutama dalam pemanfaatan tanah pekarangan
beserta telajakannya.
Proses menebal dan menipisnya hubungan hak komunal dengan hak individu itu
nampaknya sangat bergantung pada kepekaan penguasa adatnya dan kesadaran krama
desa terhadap tanah-tanah adat yang dikuasainya dalam menentukan apakah hak
milik individu tidak penuh akan berubah statusnya menjadi hak milik individu
penuh, karena di beberapa desa adat seperti di Desa Adat Kemenuh Gianyar, Desa
Adat Tamanbali Bangli, Desa Adat Ngis Culik Karangasem sudah terjadi peralihan
status dari tanah adat yang dikuasai individu (pekarangan desa atau ayahan
desa) kemudian menjadi tanah individu penuh berdasarkan konversi. Desa adat
dalam hal ini tampaknya belum memahami implikasi adanya konversi dari AYDS
menjadi tanah individu penuh, dan saat ini baru sadar, karena AYDS pada
dasarnya mengekor pada PKD, artinya segala keperluan bahan upakara dan upacara
keagamaan biasanya berasal dan dihasilkan dari tanah AYDS yang disebut teba
atau juga sebagai sumber bahan kebutuhan pokok jika tanah AYDS berupa tanah
sawah. Bahkan tempat kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas adat dapat
dilakukan di teba (AYDS) sebagai nista mandala (teben) sesuai dengan konsep Tri
Mandala.[8][8]Tanah-tanah adat ini disebutkan sebagai “druwe” atau “druwen”
desa (adat), berarti gelah (Bali) atau kepunyaan, milik, kekuasaan desa adat
(IW.Simpen, 1985: 60).
Jadi tanah-tanah yang ada dalam wilayah (wewengkon)
desa adat merupakan druwe (n) desa, kecuali tanah pribadi penuh. Jadi dari
konsep druwe ini, tanah-tanah adat sebagai tanah ulayat ada dalam kekuasaan
desa adat, konsekuensinya muncul wewenang untuk mengurus dalam arti memelihara
dan memimpin peruntukannya, juga yang secara langsung memanfaatkan untuk
kepentingan umum, seperti untuk setra, pasar desa, balai desa. Hubungan yang erat
antara desa adat dengan tanah adatnya yang bersifat religio magis ini
nampak sekali sejak awal, yaitu sebelum dilakukan perabasan hutan pada saat
kedatangan Maha Yogi Markandya yang ke dua, diadakan upacara keagamaan Bhuta
Yadnya dengan menanam pancadatu di kaki Gunung Agung yang sekarang dikenal
dengan Pura Basukian di Besakih, adanya tempat suci yang sekarang dikenal
dengan Kahyangan Tiga sebagai unsur esensial di setiap desa adat. Adanya tempat
suci yang disebut sanggah atau merajan pada setiap pekarangan rumah krama desa.
Di setiap setra juga ada tempat sucinya yang disebut Pura Prajapati. Sedangkan
di setiap pasar ada Pura Melanting. Secara umum hak penguasaan atas tanah atau
yang juga disebut hak atas tanah adalah hubungan hukum yang memberi wewenang
untuk berbuat sesuatu atas tanah itu. Hak penguasaan atas tanah ini dapat
dipakai dalam arti fisik dan yuridis.
Pengertian penguasaan dan menguasai di sini dapat
berdimensi perdata dan publik, namun pemilahan secara tegas tidak dikenal dalam
hukum adat. Penguasaan dalam dimensi perdata adalah penguasaan yang memberi
“wewenang untuk mempergunakan” tanah yang bersangkutan, sedangkan penguasaan
dalam dimensi publik, memberi “wewenang kepada pemegangnya (desa adat) untuk
mengurus dan mengatur” tanah (wilayah) yang dikuasainya.[9][9]
Menurut konsepsi di atas, maka yang dimaksudkan dengan
hak penguasaan atas tanah adalah adanya hubungan hukum antara pemegang hak dan
tanahnya. Oleh karena itu perlu dipahami terhadap siapa subjek atau pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan dan apakah nama objek atau tanah yang dipegang
tersebut.[10][10]
Dari konsep ini dapat dinyatakan, bahwa hak penguasaan
atas tanah oleh desa adat di Bali dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok
utama, yaitu: Hak milik individu tidak penuh dan hak milik komunal. Konsep
komunal religius dalam penguasaan dan pemilikan tanah adat ada dalam ikatan
kemasyarakatan dalam bentuk “ayahan” yang mempunyai dimensi sosial dan
religius, artinya pemegang tanah adat diikat oleh kewajiban untuk mengabdi kepada
banjar dan desa adatnya di satu sisi, sedangkan di sisi lain wajib berbakti
kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui ayahan ke pura.
Peraturan konversi dalam UUPA (Dasar Hukum Agraria)
mengatur, di satu pihak ditujukan pada adanya jaminan terhadap kepemilikan tanah
yang sebelumnya masih diragukan kepemilikannya, terutama ditujukan pada mereka
yang memiliki tanah secara turun temurun atau hanya diwariskan saja tanpa
adanya bukti kelengkapan surat atau dokumen hukum yang berlaku. Konversi (Balik
Nama), di sisi yang lain dapat mempengaruhi kepemilikan beberapa tanah yang
secara tradisional masih berstatus dimiliki secara bersama. Efek lain dari
konversi ini adalah tugas masyarakat dan agama dalam bentuk “ayahan” yang telah
terlampir pada tanah sebelum dihilangkan dan diubah menjadi kepemilikan
privat/pribadi.
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963, pada pasal 1
huruf c, dan d disebutkan secara limitatif, bahwa badan-badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah antara lain: badan-badan keagamaan, yang ditunjuk
oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama, dan Badan-badan
sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri
Kesejahteraan Sosial, maka desa adat telah memenuhi kriteria sebagai badan
sosial yang religius. Namun sampai saat ini belum ditunjuk sebagai badan
hukum yang dapat memiliki hak kepemilikan atas tanah.
Dampak Ketentuan Konversi terhadap Penguasaan Tanah
Adat diatur dalam Pasal II Ketentuan konversi UUPA yang menentukan:
1.
Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana
atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) seperti yang
disebut dengan nama sebagai di bawah, yang pada mulai berlakunya Undang-undang
ini, yaitu: hak agrarisch eigendom, milik, andarbeni, yasan, hak atas druwe,
Hak atas druwe desa, jeseni, grant, Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende
erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama
apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai
berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam Pasal 20 ayat
(1), kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut
dalam Pasal 21;
2.
Hak-hak tersebut dalam ayat (1) kepunyaan orang
asing, warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai
kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha atau hak
guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan
lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Sesuai penjelasan mengenai konversi hak atas tanah
adat di Bali diatas maka dapat diuraikan mengenai dampak positif dan negatif
dari peralihan hak kepemilikan tanah yang bersifat komunal ke kepemilikan tanah
secara privat yaitu:
·
Dampak positif : dari adanya ketentuan tentang
konversi dari UUPA adalah dapat lebih menjamin adanya kepastian hukum terhadap
hak penguasaan dan pemilikan tanah, sehingga juga berdampak pada adanya
kepastian terhadap perlindungannya.
·
Dampak negatif : adanya sekularisasi dan
individualisasi terhadap penguasaan dan pemilikan tanah tanah adat yang dulunya
bersifat komunal religius. Namun apabila semua tanah adat atau tanah ayah (PKD
dan AYDS) dikonversi menjadi hak milik pribadi penuh, berarti akan terjadi
pembatasan berlakunya hak ulayat desa yang selanjutnya tidak mungkin untuk
dihidupkan lagi (Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria No.5 Tahun 1999).
Penguasaannya tidak lagi diikat oleh sistem “ayahan” dalam persekutuan
(desa adat) tapi sudah terlepas dari akar budayanya, akhirnya dapat memunculkan
sikap eksklusivisme pemiliknya terutama dalam pengasingannya, karena tidak
tunduk lagi pada ketentuan hukum adat setempat (awig-awig desa adat). Bahaya
akan semakin dekat jika desa adat tidak segera sadar dan tidak cerdas
menyikapinya selama ini proses konversi hanya melibatkan dinas pemerintahan
desa, padahal tanah-tanah yang dikonversi itu merupakan tanah-tanah adat sebagai
tanah ulayat yang seharusnya tunduk pada ketentuan hukum adat dan struktur
pemerintahan desa adat. Maka secara filosofis dalam masyarakat adat Bali tanah
sebagai wilayah merupakan salah satu unsur esensial dari persekutuan (desa
adat), sehingga apabila dilakukan konversi, hendaknya tidak sampai
menghilangkan status tanah dan subjek pemegang haknya, sehingga terjadi
koeksistensi kekuatan antara UUPA sebagai hukum nasional dengan hukum adat
sebagai hukum lokal, sehingga kata “berdasar” dan “ialah” hukum adat
dimaksudkan agar sifat pendaftaran dalam UUPA mampu mengadopsi filosofi adat
dan taat asas.[11][11]
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Peraturan konversi dalam UUPA (Dasar Hukum Agraria) mengatur, di satu pihak
ditujukan pada adanya jaminan terhadap kepemilikan tanah yang sebelumnya masih
diragukan kepemilikannya, terutama ditujukan pada mereka yang memiliki tanah
secara turun temurun atau hanya diwariskan saja tanpa adanya bukti kelengkapan
surat atau dokumen hukum yang berlaku. Konversi (Balik Nama), di sisi yang lain
dapat mempengaruhi kepemilikan beberapa tanah yang secara tradisional masih
berstatus dimiliki secara bersama. Namun dalam PP No 38 Tahun 1963 menjelaskan
bahwa desa Adat hanya merupakan badan sosial bukan badan hukum sehingga tidak
merupakan subjek hukum untuk melakukan konversi hak kepemilikan tanahnya secara
privat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Efek lain dari konversi ini adalah
tugas masyarakat dan agama dalam bentuk “ayahan” yang telah terlampir pada
tanah tetap terjamin sebelum dihilangkan dan diubah menjadi kepemilikan
privat/pribadi.
B. SARAN
Perlu adanya kejelasan dan regulasi khusus terkait hak kepemilikan atas
tanah yang dikonversi sesuai dalam UUPA,untuk mempertahankan konsepsi komunal
religius atas tanah masyarakat adat. Sehingga setelah tanah masyarakat adat
tersebut mempunyai dokumen resmi dalam hal ini sertifikat yang dimiliki oleh
anggota adat maka terwujud jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang
jelas sesuai pengelolaan atas bumi,air dan ruang angkasa yang diatur dalam UUPA
maupun pasa 33 ayat 3 UUD 1945 baik berlaku kedalam maupun keluar .
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
A.
Sonny Keraf. 1997. Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi.
Yogjakarta : Kanisius. hlm. 59
H. Ali Achmad Chomzah. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia)
Jilid 1. Jakarta : Prestasi Pustaka. hlm. 80
K. Oka Setiawan. 2003. Hak Ulayat Desa Adat Tenganan Pegrinsingan Bali
Pasca UUPA. Cetakan I, Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Jakarta. hlm. 105
Prof. Dr. A.P. Parlindungan, S.H. 1990. Konversi Hak-Hak Atas Tanah.
Bandung : Mandar Maju. hlm. 5
Urip Santoso, S.H, M.H. 2005. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah.
Jakarta : Kencana Perdana hlm. 8-9
Internet :
Wikipedia.
2013. Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia.html
Miranda
Mawamama. 2012. Latar Belakang Pembentukan UUPA.
http://www.scribd.com/doc/84240760/Latar-Belakang-Pembentukan-UUPA.html
Delfina Gusman,
SH, MH. 2013. Konversi Hak Atas Tanah Di Indonesia Menurut UU No.5 Tahun
1960.
http://fhuk.unand.ac.id/in/kerjasama-hukum/menuartikeldosen-category/942-konversi-hak-atas-tanah-di-indonesia-menurut-uu-no5-tahun-1960-article.html
[1][1] 2013. Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia.
Diakses pada tanggal 29 Oktober 2013 pukul 19.35 WIB.
[2][2] Miranda Mawamama. 2012. Latar Belakang Pembentukan UUPA.
http://www.scribd.com/doc/84240760/Latar-Belakang-Pembentukan-UUPA. Diakses
pada tanggal 29 Oktober 2013 Pukul 19.37 WIB.
[3][3] Delfina Gusman, SH, MH. 2013. Konversi Hak Atas
Tanah Di Indonesia Menurut UU No.5 Tahun 1960. http://fhuk.unand.ac.id/in/kerjasama-hukum/menuartikeldosen-category/942-konversi-hak-atas-tanah-di-indonesia-menurut-uu-no5-tahun-1960-article.html.
Diakses pada tanggal 29 Oktober 2013 Pukul 19.39 WIB.
[4][4] Prof. Dr. A.P. Parlindungan, S.H. 1990. Konversi Hak-Hak Atas Tanah.
Bandung : Mandar Maju. hlm. 5
[5][5] Urip Santoso, S.H, M.H.2005. Hukum Agraria dan
Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Kencana Perdana hlm. 8-9
[6][6] H. Ali Achmad Chomzah. 2004. Hukum Agraria
(Pertanahan Indonesia) Jilid 1. Jakarta : Prestasi Pustaka. hlm. 80.
[7][7] A. Sonny Keraf. 1997. Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi.
Yogjakarta : Kanisius. hlm. 59.
[8][8] Afirmasi dengan IB. Lasem tanggal 7 Agustus 2008.
[9][9] K. Oka Setiawan. 2003. Hak
Ulayat Desa Adat Tenganan Pegrinsingan Bali Pasca UUPA. Cetakan I,
Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta.
hlm. 105.
[10][10] Ibid,.
[11][11] Herman Soesangobeng, “Pendaftaran Tanah Ulayat di Sumatera Barat dengan
Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tiga Jangko, Kecamatan Lintau
Buo, Kabupaten Tanah Datar”, Himpunan Makalah dan Rumusan Workshop Tanah Ulayat
di Sumatera Barat yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Propinsi Sumatra Barat pada Tanggal 23-24 Oktober 2000 di Padang. H.
Syofyan Jalalludin. Ed. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatera Barat.
2000, hlm. 117.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar