LISTING

Kamis, 10 November 2016

STATUS ASAL TANAH DAN KONVERSINYA

KONVERSI HAK ATAS TANAH DARI HUKUM ADAT DAN HUKUM BARAT DITINJAU DARI UNIFIKASI HAK ATAS TANAH DALAM UUPA


BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar belakang
Indonesia merupakan Negara yang memiliki wilayah daratan yang cukup luas meskipun secara keseluruhan sebagian besar wilayah Indonesia ialah lautan. Berdasarkan data yang kami peroleh dari wikipedia luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km² dan luas perairannya 3.257.483 km²[1][1]. Namun tidak dapat dipungkiri dengan jumlah sebesar itu merupakan salah satu negara dengan wilayah daratan terluas di dunia.
Indonesia juga merupakan Negara yang memiliki historis panjang, dimana Negara ini mengalami masa kolonialisme yang sangat lama, dimulai dari Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang sampai akhirnya memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945.
Pada masa kolonial, Indonesia sangat didominasi oleh Belanda dari berbagai aspek, salah satunya yaitu  di bidang Hukum, misalnya Hukum tentang pertanahan atau agraria. Pada masa kolonial Belanda peraturan-peraturan yang ada ialah peraturan yang dibentuk oleh Pemerintah pada zaman kolonial tersebut. Peraturan-peraturan tersebut tidaklah sesuai dengan nilai-nilai asli yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Norma tersebut hanyalah menguntungkan bagi penguasa saat itu saja. Namun harus tetap diakui hukum adat pada saat itu juga tetap ada sebagai nilai-nilai orisinil yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, meskipun keberlakuannya sangatlah terbatas.
Sejak awal kemerdekaan hingga tahun 1960 hukum pertanahan Indonesia menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mana dasarnya ialah berasal dari Hukum Barat. Sampai pada tahun 1960 dibentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang  nilai-nilai dasarnya berasal dari bangsa Indonesia itu sendiri.
Hukum agraria mempunyai fungsi yang sangat penting untuk membangun masyarakat adil daan makmur, seperti yang dinyatakan dalam penjelasan umum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susuan kehidupannya, termasuk perekonomiannya, bercorak agraris bumi, air, dan ruang angkasa , sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang sangat penting untuk membnagun masyarakat yang adil dan makmur. Sehingga dibentuknya UUPA untuk terciptanya kepastian hukum guna mewujudkan cita-cita tersebut[2][2].
Pada makalah ini kami akan mengkhususkan untuk membahas mengenai Konversi hak atas tanah dalam UUPA yang sebelumnya ialah berasal dari hukum adat dan hukum barat lalu diunifikasi berdasarkan UUPA.
Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria, maka banyak perubahan yang terjadi dalam ketentuan hak-hak atas tanah. Salah satunya adalah diadakan konversi hak atas tanah oleh pemerintah. Adapun yang dimaksud dengan konversi adalah penyesuaian Hak-Hak atas tanah yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu Hak-Hak tanah menurut kitab undang-undang Hukum Perdata Barat dan tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat untuk masuk dalam sistem hak-hak tanah menurut ketentuan UUPA.
Yang menjadi pokok dilaksanakannya konversi dalam Hukum Agraria Nasional, adalah dimana hak-hak atas tanah yang dikenal sebelum berlakunya UUPA tidak sesuai dengan jiwa falsafah Negara Pancasila dan UUD 1945 . Hukum Agraria kolonial bersifat dualistis, dimana disamping berlakunya peraturan yang berasal dari Hukum Agraria Adat berlaku pula Hukum Agraria yang berdasarkan Hukum perdata barat, dengan demikian terdapat tanah-tanah dengan hak-hak Barat dan tanah-tanah hak adat Indonesia.
Hak-Hak atas tanah yang dikonversikan itu bukan saja hak-hak atas tanah yang bersumber pada hukum perdata barat saja tetapi juga hak-hak atas tanah yang dikenal dalam hukum adat seperti ganggam bauntuak, bengkok, gogolan dan sebagainya. Hak-hak ini dikonversikan, karena tidak sesuai dengan jiwa Hukum Agraria Nasional, yaitu  karena sifatnya yang feodalis[3][3].
Masih banyaknya masyarakat yang belum paham tentang konversi hak atas tanah ini menimbulkan berbagai permaslahan-permasalahan ditengah-tengah masyarakat. Misalnya bagaimanakah cara mengkonversikan hak-hak atas tanah tersebut. Berdasarkan hal inilah, maka kami tertarik membahas makalah tentang "Konversi hak atas tanah dari hukum adat dan hukum barat ditinjau dari unifikasi hak atas tanah dalam UUPA".
B.    
Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pelaksanaan konversi hak atas tanah yang terjadi di Indonesia ?
2.      Bagaimana dampak konversi dalam UUPA terhadap hak kepemilikan tanah masyarakat adat di Bali ?






BAB II
PEMBAHASAN

A.                 Pelaksanaan Konversi Hak Atas Tanah di Indonesia
Penerbitan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria memberikan banyak perubahan yang terjadi dalam ketentuan hak-hak atas tanah. Salah satunya adalah diadakan konversi hak atas tanah oleh pemerintahKonversi hak atas tanah adalah penyesuaian hak-hak tanah yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu hak-hak tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat dan Tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat untuk masuk dalam sistem hak-hak tanah menurut ketentuan UUPA[4][4]. Sebelum adanya konversi hak-hak atas tanah dan berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia Belanda (Indonesia) terdiri atas 5 perangkat hukum, yaitu :
1.    Hukum Agraria Adat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada hukum adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang dianut oleh hukum adat, yang selanjutnya sering disebut tanah adat atas tanah Indonesia.
2.      Hukum Agraria Barat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Perdata Barat, khususnya yang bersumber pada Boegerlinjk Wetboek (BW). Hukum Agraria ini terdapat dalam BW (bersifat ekstern), yang memberikan pengaturan bagi sebagian kecil tanah tetapi bernilai tinggi. Hukum agraria ini diberlakukan atas dasar Konkordansi. Misalnya tanah Hak Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpacht.
3.    Hukum agraria Administrasif
Yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang merupakan pelaksanaan dari politik agraria pemerintah di dalam kedudukannya sebagai badan penguasa. Sumber pokok dari Hukum Agraria ini adalah Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55, yang dilaksanakan dengan Agrarische Besluit Stb. 1870 No. 118, yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan politik pertanahan/agrarianya.
4.    Hukum Agraria Swapraja
Yaitu keseluruhan dari kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada peraturan-peraturan tentang tanah di daerah-daerah swapraja (Yogyakarta, Aceh), yang memberikan pengaturan bagi tanah-tanah di wilayah daerah-daerah swapraja yang bersangkutan.
5.    Hukum Agraria Antar Golongan
Hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa (kasus) agraria (tanah), maka timbullah Hukum Agraria Antar Golongan, yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang menentukan hukum manakah yang berlaku (Hukum adat ataukah Hukum Barat apabila dua orang yang masing-masing tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri bersengketa mengenai tanah. Hukum agraria ini memberikan pengaturan atau pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah Hukum antar golongan yang mengenai tanah.
Kelima perangkat Hukum Agararia tersebut, setelah Negara Indonesia merdeka, atas dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dinyatakan masih berlaku selama belum diadakan yang baru.[5][5] Setelah kemerdekaan Indonesia, dilakukan unifikasi untuk pembentukan undang-undang mengenai hak-hak atas tanah dengan konversi atau peralihan.
Salah satu tujuan diberlakukannya UUPA adalah untuk melakukan penyatuan dan penyederhanaan hukum agraria nasional. Untuk mewujudkan penyatuan dan penyederhanaan tersebut, dilakukan konversi hak atas tanah. Yang dimaksud dengan konversi hak atas tanah adalah perubahan hak atas tanah yang lama menjadi hak atas tanah yang sesuai dengan ketentuan UUPA.[6][6]
Untuk mengetahui sikap dan filosofi dari koversi konversi ini maka terdapat 5 prinsip yang mendasari konversi hak atas tanah yakni sebagai berikut :
1.      Prinsip Nasionalitas
Prinsip ini dapat dibaca / ditemui dalam pasal 9, 21, 30 dan 36 UUPA. Menurut pasal 9 bahwa warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi air dan ruang angkasa, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, mereka mempunyai hak yang sama untuk memperoleh hak-hak atas tanah. Dari ketentuan pasal 21 UUPA dapat diketahui bahwa betapa konsekwennya Indonesia terhadap prinsip Nasionalitas, maka hak milik sebagai hak terpenuh dan terkuat hanya di peruntukan bagi warga negara Indonesia, orang asing tidak diperkenankan mempunyai tanah walau pun karena pewarisan.
2.      Prinsip pengakuan hak-hak tanah terdahulu .
Berlakunya UUPA terjadilah unifikasi hukum di bidang pertanahan. namun bukan berarti hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum yang lama, yakni hukum perdata barat dan hukum adat menjadi hilang begitu saja, terhadap tanah, yang tunduk pada sistem hukum lama masih diakui keberadaanya. Untuk kemudian melalui lembaga konversi disesuaikan kedalam salah satu hak atas tanah menurut sistem UUPA. Hal demikian memperlihatkan kepribadian dari bangsa Indonesia yang berkeprimanusiaan dalam melaksanakan ketentuan konversi ini. Berlainan dengan negara-negara penjajah maupun negara-negara komunis yang mengambil alih daerah pada umumnya.
3.      Prinsip kepentingan hukum
Dengan adanya ketentuan konversi maka ada kepastian hukum mengenai status hak-hak atas tanah yang tunduk pada sistem hukum yang lama. Apakah hak tersebut akan dihapuskan atau disesuaikan kedalam hak-hak menurut sistem UUPA dan kepastian berakhirnya masa-masa konversi hak-hak atas tanah bekas tunduk pada KUH Perdata  dinyatakan telah berakhir pada tanggal 24 September 1960.
4.      Penyesuaian kepada kepentingan konversi
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa  ketentuan konversi Indonesia mengakui hak-hak atas tanah, yang lama yang pernah ada sebelum berlaku UUPA,  maka terhadap hak-hak yang lama tersebut melalui Lembaga konversi disesuaikan atau dipadankan dengan hak-hak atas tanah menurut UUPA. Dalam hal ini tidak terlepas dari prinsip terdahulu yakni prinsip nasionalitas, masalah kewarganegaraan sangat menentukan dalam penyesuaian atau  pemadanan tersebut.
5.      Status quo hak-hak tanah terdahulu
Setelah berlaku nya UUPA maka tidak mungkin lagi di terbitkan hak-hak baru atas tanah yang tunduk pada hukum barat maupun adat. Dengan demikian setiap ada perbuatan suatu hak baru atas tanah yang tunduk atau yang akan ditundukkan pada sistim hukum yang lama adalah batal dan tidak berkekuatan hukum.
Dasar hukum konversi hak atas tanah terdapat di bagian Kedua UUPA tentang Ketentuan-Ketentuan Konversi, yaitu pasal I hingga Pasal VIII. Secara garis besar, konversi hak atas tanah terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1.    Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat
2.    Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia
3.    Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas swapraja
Berbagai jenis hak atas tanah tersebut kemudian dikonversi menjadi hak atas tanah yang baru, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. berikut ini penjelasan dari ketiga jenis konversi tersebut.


1.1       Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat
Hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
1.    Hak eigendom, adalah hak untuk membuat suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain. Hak eigendom merupakan hak yang paling sempurna. Hak eigendom dapat dikonversi menjadi hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai. Namun apabila terhadap hak eigendom tersebut dibebani hak opstal atau hak erfpacht, maka konversinya harus atas kesepakatan antara pemegang hak eigendom dengan pemengang hak opstal atau hak erfpacht.
2.    Hak opstal, adalah hak kebendaan untuk memiliki bangunan dan tanaman-tanaman di atas sebidang tanah orang lain (Pasal 711 KUH Perdata). Hak opstal dapat dikonversi menjadi hak guna bangunan.
3.    Hak erfpacht, adalah hak untuk memetik kenikmatan seluas-luasnya dari tanah milik orang lain dan mengusahakannya untuk waktu yang sangat lama (Pasal 820 KUH Perdata). Hak erfpacht terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
o    Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, dapat dikonversi menjadi hak guna usaha.
o    Hak erfpacht untuk perumahan, dapat dikonversi menjadi hak guna bangunan.
o    Hak erfpacht untuk pertanian kecil, tidak dikonversi dan dihapus.
4.    Hak gebruik (recht van gebruik), adalah hak kebendaan atas benda orang lain bagi seseorang tertentu untuk mengambil benda sendiri dan memakai apabila ada hasilnya, sekedar buat keperluannya sendiri beserta keluarganya. Hak gebruik dikonversi menjadi hak pakai.
5.    Bruikleen, adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyerahkan benda dengan cuma-cuma kepada pihak lain untuk dipakainya dengan disertai kewajiban untuk mengembalikan benda tersebut pada waktu yang ditentukan. Bruikleen dikonversi menjadi hak pakai.
1.2       Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia
Hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Hak erfpacht yang altijddurend, adalah hak erfpacht yang diberikan sebagai pengganti hak usaha di atas bekas tanah partikulir menurut S. 1913 – 702. Hak ini dapat dikonversi menjadi hak milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan, tergantung pada subyek hak dan peruntukannya.
2. Hak agrarische eigendom, adalah hak buatan semasa pemerintahan kolonial Belanda yang memberikan    kaum bumiputera suatu hak baru yang kuat atas sebidang tanah. Hak agrarische eigendom juga dapat dikonversi menjadi hak milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan, sesuai dengan subyek hak dan peruntukannya.
3. Hak gogolan, adalah hak seorang gogol (kuli) atas komunal desa. Hak gogolan juga sering disebut hak sanggao atau hak pekulen. Hak gogolan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
  • o   Hak gogolan yang bersifat tetap, apabila si gogol secara terus-menerus mempunyai tanah yang sama dan tanah tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya.
  • o   Hak gogolan yang bersifat tidak tetap, apabila gogol tersebut tidak secara terus-menerus memegang tanah gogolan yang sama dan apabila ia meninggal dunia, tanah gogolan kembali pada desa.
Terhadap tanah gogolan yang bersifat tetap dapat dikonversi menjadi hak milik. Sedangkan terhadap tanah gogolan yang bersfat tidak tetap dapat dikonversi menjadi hak pakai.
1.3       Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas swapraja
Daerah swapraja adalah daerah raja-raja semasa pemerintahan kolonial Belanda. Terdapat beberapa jenis hak swapraja atas tanah:
1. Hak hanggaduh, adalah hak untuk memakai tanah kepunyaan raja. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, semua tanah adalah kepunyaan raja. sedangkan rakyat hanya menggaduh saja. Hak hanggaduh dapat dikonversi menjadi hak pakai.
2.  Hak grant, adalah hak atas tanah atas pemberian hak raja kepada bangsa asing. Hak grant juga disebut geran datuk, geran sultan atau geran raja. Hak grant terdiri dari tiga macam, yaitu:
o   Grant sultan, adalah hak milik untuk mengusahakan tanah yang diberikan oleh sultan kepada para kaula swapraja. Hak ini dapat dikonversi menjadi hak milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan, sesuai dengan subyek hak dan peruntukannya.
o   Grant controleur, diberikan oleh sultan kepada bukan kaula swapraja. Hak ini dikonversi menjadi hak pakai
o   Grant deli maatschappy, diberikan oleh sultan kepada deli maatschappy yang berwenang untuk memberikan bagian-bagian tanah kepada pihak lain. Terhadap konversi hak grant deli maatschappy, tidak terdapat ketentuan yang mengaturnya. Namun menurut Boediharsono, hak ini dapat dikonversi menjadi hak pakai karena sifatnya sama dengan hak grant controleur.
3.    Hak konsesi dan sewa untuk perusahaan kebun besar. Hak konsesi untuk perusahaan kebun besar adalah hak-hak untuk mengusahakan tanah swapraja yang diberikan oleh kepala swapraja. Sedangkan hak sewa untuk perusahaan kebun besar adalah hak sewa atas tanah negara, termasuk tanah bekas swapraja untuk dipergunakan sebagai perkebunan yang luasnya 25 Ha atau lebih. Hak-hak ini dapat dikonversi menjadi hak guna usaha.

B.                 Dampak konversi dalam UUPA terhadap hak kepemilikan tanah masyarakat adat di Bali.
Falsafah yang mendasari hukum adat mengenai tanah adalah konseptual komunalistik religius, karena dalam konsep hukum adat kehidupan individu dipandang sebagai kehidupan yang terutama untuk mengabdi kepada kehidupan masyarakat. Tanah adat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat dipandang sebagai tanah bersama yang merupakan “pemberian atau anugerah dari suatu kekuatan gaib, sehingga semua hak perorangan bersumber dari tanah bersama tersebut. Berangkat dari kasus di Bali IB.Lasem anggota LSM di Bali  menyebutkan, bahwa tanah-tanah adat seperti Pekarangan Desa (PKD), Ayahan Desa (AYDS) yang dikuasai secara individu di dalamnya terkandung konsep Tri Hita Karana, yaitu berupa Parhyangan yang berwujud Merajan (believe system), Pelemahan yang berwujud wilayah perumahan (artefact system), dan Pawongan yang berwujud anggota keluarga yang tinggal di situ (social system) yang notabene sebagai krama banjar dan krama desa adat. Semuanya ini sudah barang tentu diatur dalam awig-awig (hukum tidak tertulis masyarakat adat Bali). Jadi penguasaan tanah adat ini secara ekonomis tidak hanya dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan secara pribadi pemegangnya, tapi juga diabdikan untuk kepentingan bersama dalam bentuk pelaksanaan kewajiban berupa ayahan(pengelolaan tanah adat) yang mempunyai dimensi sosial dan religius (Desa adat dengan Parhyangan, seperti pura Kahyangan Tiga). Dengan demikian implementasi konsep komunal religius akan sangat nyata dapat disaksikan terhadap status tanah adat yang dikuasai oleh individu sebagai krama (anggota) desa adat. Begitu pula tanah-tanah adat sebagai tanah ulayat di Bali merupakan tanah bersama yang dikuasai dan dimiliki oleh desa adat secara komunal. Sebagian tanah komunal ini penguasaannya diserahkan (di-derivatif) kepada krama (anggota) desa adat secara individual yang disebut sebagai hak milik tidak penuh seperti PKD, AYDS.
Menurut Grotius, bahwa milik pribadi dikonsepsikan mempunyai hak untuk memiliki dan menggunakan secara pribadi. Jadi ada milik bersama tetapi dapat digunakan untuk kepentingan pribadi.[7][7] Beberapa ketentuan tentang pemilikan tanah secara individu menurut hukum adat antara lain:
1.    Pemilikan tanah hanya dapat dipunyai oleh warga masyarakat hukum  adat saja (krama/anggota  desa adat).
2.    Pemilikan tidak lahir berdasarkan keputusan atau izin kepala adat. Keputusan atau izin kepala adat hanya berfungsi sebagai pembuka jalan ke arah kemungkinan menguasai tanah dengan hak milik. Pemilikan lahir berdasarkan pengakuan masyarakat yang disebabkan oleh kenyataan erat ada tidaknya hubungan seseorang atas tanah. Erat dalam arti tanah senantiasa dikerjakan, dirawat dengan baik dan tidak diabaikan.
3.    Pemilikan hanya timbul apabila syarat de facto berupa tempat tinggal dalam masyarakat hukum, mengerjakan tanah secara terus menerus, dan syarat de jure berupa pengakuan masyarakat akan pemilikan tersebut, berlaku secara bersamaan dalam diri pribadi yang bersangkutan.
4.    Berakhirnya hak milik atas tanah, berarti berhentinya pengakuan masyarakat atas hak orang yang bersangkutan terhadap kepemilikan tanah.
Dua unsur utama yang memberikan ciri khas kepemilikan hak tanah adat yakni tidak adanya kekuasaan untuk memindahkan tanah dan terdapat interaksi antara hak komunal dan hak individu yang mempunyai akibat atau berlaku ke dalam maupun berlaku ke luar.
Di Bali hak penguasaan tanah juga dilandasi oleh hak ulayat atau hak prabumian. Kondisi ini akan sangat relevan jika dikaitkan antara hubungan terjadinya desa adat dan tanah adat dalam perspektif sejarahnya. Di samping itu relevan juga dengan teori hukum alam dan accupatio dalam arti adanya penguasaan dan pemilikan bersama (komunal) dan juga penguasaan dan pemilikan secara individual (perseorangan). Hubungan antara hak komunal dengan hak individual juga nampak saling mendesak, menebal dan menipis. Bahkan lebih didominasi oleh hak individual, terutama dalam pemanfaatan tanah pekarangan beserta telajakannya.
Proses menebal dan menipisnya hubungan hak komunal dengan hak individu itu nampaknya sangat bergantung pada kepekaan penguasa adatnya dan kesadaran krama desa terhadap tanah-tanah adat yang dikuasainya dalam menentukan apakah hak milik individu tidak penuh akan berubah statusnya menjadi hak milik individu penuh, karena di beberapa desa adat seperti di Desa Adat Kemenuh Gianyar, Desa Adat Tamanbali Bangli, Desa Adat Ngis Culik Karangasem sudah terjadi peralihan status dari tanah adat yang dikuasai individu (pekarangan desa atau ayahan desa) kemudian menjadi tanah individu penuh berdasarkan konversi. Desa adat dalam hal ini tampaknya belum memahami implikasi adanya konversi dari AYDS menjadi tanah individu penuh, dan saat ini baru sadar, karena AYDS pada dasarnya mengekor pada PKD, artinya segala keperluan bahan upakara dan upacara keagamaan biasanya berasal dan dihasilkan dari tanah AYDS yang disebut teba atau juga sebagai sumber bahan kebutuhan pokok jika tanah AYDS berupa tanah sawah. Bahkan tempat kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas adat dapat dilakukan di teba (AYDS) sebagai nista mandala (teben) sesuai dengan konsep Tri Mandala.[8][8]Tanah-tanah adat ini disebutkan sebagai “druwe” atau “druwen” desa (adat), berarti gelah (Bali) atau kepunyaan, milik, kekuasaan desa adat (IW.Simpen, 1985: 60).
Jadi tanah-tanah yang ada dalam wilayah (wewengkon) desa adat merupakan druwe (n) desa, kecuali tanah pribadi penuh. Jadi dari konsep druwe ini, tanah-tanah adat sebagai tanah ulayat ada dalam kekuasaan desa adat, konsekuensinya muncul wewenang untuk mengurus dalam arti memelihara dan memimpin peruntukannya, juga yang secara langsung memanfaatkan untuk kepentingan umum, seperti untuk setra, pasar desa, balai desa. Hubungan yang erat antara desa adat dengan tanah adatnya yang bersifat religio magis ini nampak sekali sejak awal, yaitu sebelum dilakukan perabasan hutan pada saat kedatangan Maha Yogi Markandya yang ke dua, diadakan upacara keagamaan Bhuta Yadnya dengan menanam pancadatu di kaki Gunung Agung yang sekarang dikenal dengan Pura Basukian di Besakih, adanya tempat suci yang sekarang dikenal dengan Kahyangan Tiga sebagai unsur esensial di setiap desa adat. Adanya tempat suci yang disebut sanggah atau merajan pada setiap pekarangan rumah krama desa. Di setiap setra juga ada tempat sucinya yang disebut Pura Prajapati. Sedangkan di setiap pasar ada Pura Melanting. Secara umum hak penguasaan atas tanah atau yang juga disebut hak atas tanah adalah hubungan hukum yang memberi wewenang untuk berbuat sesuatu atas tanah itu. Hak penguasaan atas tanah ini dapat dipakai dalam arti fisik dan yuridis.
Pengertian penguasaan dan menguasai di sini dapat berdimensi perdata dan publik, namun pemilahan secara tegas tidak dikenal dalam hukum adat. Penguasaan dalam dimensi perdata adalah penguasaan yang memberi “wewenang untuk mempergunakan” tanah yang bersangkutan, sedangkan penguasaan dalam dimensi publik, memberi “wewenang kepada pemegangnya (desa adat) untuk mengurus dan mengatur” tanah (wilayah) yang dikuasainya.[9][9]
Menurut konsepsi di atas, maka yang dimaksudkan dengan hak penguasaan atas tanah adalah adanya hubungan hukum antara pemegang hak dan tanahnya. Oleh karena itu perlu dipahami terhadap siapa subjek atau pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan apakah nama objek atau tanah yang dipegang tersebut.[10][10]
Dari konsep ini dapat dinyatakan, bahwa hak penguasaan atas tanah oleh desa adat di Bali dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yaitu: Hak milik individu tidak penuh dan hak milik komunal. Konsep komunal religius dalam penguasaan dan pemilikan tanah adat ada dalam ikatan kemasyarakatan dalam bentuk “ayahan” yang mempunyai dimensi sosial dan religius, artinya pemegang tanah adat diikat oleh kewajiban untuk mengabdi kepada banjar dan desa adatnya di satu sisi, sedangkan di sisi lain wajib berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui ayahan ke pura.
Peraturan konversi dalam UUPA (Dasar Hukum Agraria) mengatur, di satu pihak ditujukan pada adanya jaminan terhadap kepemilikan tanah yang sebelumnya masih diragukan kepemilikannya, terutama ditujukan pada mereka yang memiliki tanah secara turun temurun atau hanya diwariskan saja tanpa adanya bukti kelengkapan surat atau dokumen hukum yang berlaku. Konversi (Balik Nama), di sisi yang lain dapat mempengaruhi kepemilikan beberapa tanah yang secara tradisional masih berstatus dimiliki secara bersama. Efek lain dari konversi ini adalah tugas masyarakat dan agama dalam bentuk “ayahan” yang telah terlampir pada tanah sebelum dihilangkan dan diubah menjadi kepemilikan privat/pribadi.
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963, pada pasal 1 huruf c, dan d disebutkan secara limitatif, bahwa badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah antara lain: badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama, dan Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial, maka desa adat telah memenuhi kriteria sebagai badan sosial yang religius. Namun sampai saat ini belum ditunjuk sebagai badan hukum yang dapat memiliki hak kepemilikan atas tanah.
Dampak Ketentuan Konversi terhadap Penguasaan Tanah Adat diatur dalam Pasal II Ketentuan konversi UUPA yang menentukan:
1.    Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu: hak agrarisch eigendom, milik, andarbeni, yasan, hak atas druwe, Hak atas druwe desa, jeseni, grant, Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam Pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21;
2.     Hak-hak tersebut dalam ayat (1) kepunyaan orang asing, warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Sesuai penjelasan mengenai konversi hak atas tanah adat di Bali diatas maka dapat diuraikan mengenai dampak positif dan negatif dari peralihan hak kepemilikan tanah yang bersifat komunal ke kepemilikan tanah secara privat yaitu:
·      Dampak positif : dari adanya ketentuan tentang konversi dari UUPA adalah dapat lebih menjamin adanya kepastian hukum terhadap hak penguasaan dan pemilikan tanah, sehingga juga berdampak pada adanya kepastian terhadap perlindungannya.
·      Dampak negatif : adanya sekularisasi dan individualisasi terhadap penguasaan dan pemilikan tanah tanah adat yang dulunya bersifat komunal religius. Namun apabila semua tanah adat atau tanah ayah (PKD dan AYDS) dikonversi menjadi hak milik pribadi penuh, berarti akan terjadi pembatasan berlakunya hak ulayat desa yang selanjutnya tidak mungkin untuk dihidupkan lagi (Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria No.5 Tahun 1999).

Penguasaannya tidak lagi diikat oleh sistem “ayahan” dalam persekutuan (desa adat) tapi sudah terlepas dari akar budayanya, akhirnya dapat memunculkan sikap eksklusivisme pemiliknya terutama dalam pengasingannya, karena tidak tunduk lagi pada ketentuan hukum adat setempat (awig-awig desa adat). Bahaya akan semakin dekat jika desa adat tidak segera sadar dan tidak cerdas menyikapinya selama ini proses konversi hanya melibatkan dinas pemerintahan desa, padahal tanah-tanah yang dikonversi itu merupakan tanah-tanah adat sebagai tanah ulayat yang seharusnya tunduk pada ketentuan hukum adat dan struktur pemerintahan desa adat. Maka secara filosofis dalam masyarakat adat Bali tanah sebagai wilayah merupakan salah satu unsur esensial dari persekutuan (desa adat), sehingga apabila dilakukan konversi, hendaknya tidak sampai menghilangkan status tanah dan subjek pemegang haknya, sehingga terjadi koeksistensi kekuatan antara UUPA sebagai hukum nasional dengan hukum adat sebagai hukum lokal, sehingga kata “berdasar” dan “ialah” hukum adat dimaksudkan agar sifat pendaftaran dalam UUPA mampu mengadopsi filosofi adat dan taat asas.[11][11]






BAB III
PENUTUP

A.      SIMPULAN
Peraturan konversi dalam UUPA (Dasar Hukum Agraria) mengatur, di satu pihak ditujukan pada adanya jaminan terhadap kepemilikan tanah yang sebelumnya masih diragukan kepemilikannya, terutama ditujukan pada mereka yang memiliki tanah secara turun temurun atau hanya diwariskan saja tanpa adanya bukti kelengkapan surat atau dokumen hukum yang berlaku. Konversi (Balik Nama), di sisi yang lain dapat mempengaruhi kepemilikan beberapa tanah yang secara tradisional masih berstatus dimiliki secara bersama. Namun dalam PP No 38 Tahun 1963 menjelaskan bahwa desa Adat hanya merupakan badan sosial bukan badan hukum sehingga tidak merupakan subjek hukum untuk melakukan konversi hak kepemilikan tanahnya secara privat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Efek lain dari konversi ini adalah tugas masyarakat dan agama dalam bentuk “ayahan” yang telah terlampir pada tanah tetap terjamin sebelum dihilangkan dan diubah menjadi kepemilikan privat/pribadi.

B.       SARAN
Perlu adanya kejelasan dan regulasi khusus terkait hak kepemilikan atas tanah yang dikonversi sesuai dalam UUPA,untuk mempertahankan konsepsi komunal religius atas tanah masyarakat adat. Sehingga setelah tanah masyarakat adat tersebut mempunyai dokumen resmi dalam hal ini sertifikat yang dimiliki oleh anggota adat maka terwujud jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang jelas sesuai pengelolaan atas bumi,air dan ruang angkasa yang diatur dalam UUPA maupun pasa 33 ayat 3 UUD 1945 baik berlaku kedalam maupun  keluar .







DAFTAR PUSTAKA

Buku :
A.           Sonny Keraf. 1997. Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi. Yogjakarta : Kanisius. hlm. 59

H. Ali Achmad Chomzah. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) Jilid 1. Jakarta : Prestasi Pustaka. hlm. 80

K. Oka Setiawan. 2003. Hak Ulayat Desa Adat Tenganan Pegrinsingan Bali Pasca UUPA. Cetakan I, Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. hlm. 105

Prof. Dr. A.P. Parlindungan, S.H. 1990. Konversi Hak-Hak Atas Tanah. Bandung : Mandar Maju. hlm. 5

Urip Santoso, S.H, M.H. 2005. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Kencana Perdana hlm. 8-9


Internet :

Wikipedia. 2013. Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia.html
Miranda Mawamama. 2012. Latar Belakang Pembentukan UUPA. http://www.scribd.com/doc/84240760/Latar-Belakang-Pembentukan-UUPA.html

Delfina Gusman, SH, MH. 2013. Konversi Hak Atas Tanah Di Indonesia Menurut UU No.5 Tahun 1960. http://fhuk.unand.ac.id/in/kerjasama-hukum/menuartikeldosen-category/942-konversi-hak-atas-tanah-di-indonesia-menurut-uu-no5-tahun-1960-article.html









[1][1] 2013. Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2013 pukul 19.35 WIB.
[2][2] Miranda Mawamama. 2012. Latar Belakang Pembentukan UUPA. http://www.scribd.com/doc/84240760/Latar-Belakang-Pembentukan-UUPA. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2013 Pukul 19.37 WIB.
[3][3] Delfina Gusman, SH, MH. 2013. Konversi Hak Atas Tanah Di Indonesia Menurut UU No.5 Tahun 1960. http://fhuk.unand.ac.id/in/kerjasama-hukum/menuartikeldosen-category/942-konversi-hak-atas-tanah-di-indonesia-menurut-uu-no5-tahun-1960-article.html. Diakses pada tanggal 29 Oktober  2013 Pukul 19.39 WIB.

[4][4] Prof. Dr. A.P. Parlindungan, S.H. 1990. Konversi Hak-Hak Atas Tanah. Bandung : Mandar Maju. hlm. 5
[5][5] Urip Santoso, S.H, M.H.2005. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Kencana Perdana hlm. 8-9
[6][6] H. Ali Achmad Chomzah. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) Jilid 1. Jakarta : Prestasi Pustaka. hlm. 80.
[7][7] A. Sonny Keraf. 1997. Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi. Yogjakarta : Kanisius. hlm. 59.
[8][8] Afirmasi dengan IB. Lasem tanggal 7 Agustus 2008.
[9][9] K. Oka Setiawan. 2003. Hak Ulayat Desa Adat Tenganan Pegrinsingan Bali Pasca UUPA. Cetakan I, Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. hlm. 105.
[10][10] Ibid,.

[11][11] Herman Soesangobeng, “Pendaftaran Tanah Ulayat di Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tiga Jangko, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar”, Himpunan Makalah dan Rumusan Workshop Tanah Ulayat di Sumatera Barat yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatra Barat pada Tanggal 23-24 Oktober 2000 di Padang. H. Syofyan Jalalludin. Ed. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatera Barat. 2000, hlm. 117.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar